Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kursi Prioritas dan Hidup Bersama

18 Januari 2018   11:48 Diperbarui: 19 Januari 2018   13:06 1333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Eh, bapak ini merasa bayar langsung saja duduk dengan mengatakan sama-sama bayar. Manusia materialisme. Coba bayangkan jika hal itu terjadi pada keluarganya. Istrinya yang menggendong anak, atau anaknya yang sakit. 

Penyakit bangsa ini, kalau begitu mereka akan rela merengek minta, tapi ketika memberikan akan enggan. Mirip dengan sikap toleransi dan menghargai. Maunya minta dihargai dan diberi keluasan, namun tidak mau membantu sedikit pun.

Hidup itu bukan do ut des, memberi biar diberi juga, namun tentu ada sikap tepo seliro, masih mampu tidak, apakah memang tidak sanggup, bisa secara terus terang memohon maaf karena memang tidak mampu, akan dimaklumi dan selesai dengan baik kog. Emosional menjadi lebih buruk kondisinya.

Melanggar hak, hampir tidak menjadi pertimbangan dalam hidup bersama bangsa ini. Wong melanggar hukum saja tidak merasa bersalah kog. Keteladanan dan contoh yang berseliweran di media sangat berpengaruh dalam kehidupan berbangsa.

Pendidikan masih sebatas menghapal. Keadilan adalah ini dan itu, tidak sampai aplikasi, contoh kasus. Sikap membela diri dan membenarkan diri dengan dalih lemah bahkan asal pun menjadi gaya hidup. Tidak heran bangsa yang mengaku memiliki budaya adiluhung itu seperti hidup di rimba raya, hanya beda sarana saja.

Agama pun, masih ritual dan hapalan. Banyaknya rapalan seolah menjamin kualitas beragamanya. Namun ketika menghadapi persoalan konkret seperrti ini, apa bedanya dengan orang yang tidak mengenal Tuhan? Apapun agamanya, sama saja, tidak perlu sensi dengan mengaitkan agama saya dan menuduh menjelekan agama lain.

Perlu solusi jitu, bukan hanya pembenar dari pihak manajemen, namun aturan ditulis besar-besar, jangan dikelupas. Kala perlu dipampang foto pelaku "penyerobot" ini, atau bisa juga ditayangkan dalam video yang ada di stasiun, kereta, bus, dan halte. 

Ada efek jera, tentu yang membandel dan malah memancing keributan, bukan orang yang tidak tahu apa-apa, hanya terlambat merespons sudah "dipermalukan" demikian.

Ketegasan petugas dengan jaminan pengelola untuk menurunkan penumpang demikian. Selama ini petugas tidak berdaya berhadapan dengan orang demikian.

Hukuman sosial. Selama ini paling hanya diteriakin dan huuuuu...saja, toh yang bermuka badak, mana peduli. Tetap saja sedekap tangan, kayak bapak yang menyerobot bangku yang saya berikan pada ibu yang menggendong anaknya. Diturunkan dengan segera sangat membantu memberikan efek kejut untuk banyak pihak.

Miris sebenarnya bangsa besar namun mental kecil dan masih ribut hal yang remeh namun mendasar demikian. negara lain sudah melaju menuju planet lain, eh masih berkutat pada egoisme sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun