Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mahar Politik dan Netralitas ASN, "Kentut" Demokrasi

14 Januari 2018   07:52 Diperbarui: 14 Januari 2018   10:25 985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mahar politik dan netralitas ASN, "kentut" demokrasi, dua hal ini sangat kencang isunya, bahkan juga baunya, bahkan perilakunya, toh tidak pernah selesai, apalagi sampai ke ranh hukum. Jelas paling gampang adalah tidak akan ada bukti dan saksi. Dua orang paling yang berbicara dan keduanya pada posisi yang berbeda. Jika ada saksi, pun akan menjawab sesuai kepentingan, akhirnya sunyi sepi dan selesai.

Pun soal netralitas ASN termasuk militer dan kepolisian, semua juga nyaring bunyinya, baunya semerbak, toh sami mawon, pada wae, tidak akan ada tindak lanjut. Apalagi otonomi daerah yang kental dengan bagi-bagi jabatan untuk timses, relawan, dan sejenisnya.

Berkaitan dengan mahar dan netralitas ASN ini benar-benar terjadi dan saya tahu sendiri. Suatu hari dalam rangka pembinaan iman anak sekolah, saya diundang ke sana oleh teman yang menjadi pengajar. Kepala sekolah, di sekolah itu santer mau maju ke pilkada tingkat dua. Kala itu lewat patai politik penguasa. 

Koran, zaman itu belum begitu booming media online, memberitakan dengan kuat kalau beliau  ini salah satu kandidat kuat (media regional tentu). Eh tiba-tiba hilang dari peredaran. Pas acara itu, tentu sebagai kepala sekolah mengucapkan sambutan. Pekik sorak sebagai pembuka itu mengerikan, pak x tidak bisa jadi pemimpin daerah karena tidak punya duit.... (paling tidak demikian inti kalimatnya). 

Nampaknya, melihat kehebohan dan kekompakan mereka, hal ini sudah dilatihkan cukup lama. Menurut hemat saya, mungkin setiap upaca bendera Senin pagi hal itu juga digelorakan, identik dengan PDI-P dengan merdeka itu. Ini sekolah menengah pertama, tentu bahwa anak didik tidak punya hak pilih, namun tentu itu investasi jangka panjang untuk periode-periode mendatang bisa terjadi. lima tahun, sepuluh tahun mereka adalah panenan yang lumayan besar.

Ada tiga hal yang jelas sangat tidak elok dipertontonkan ke siswa-siswi, pertama, soal politik praktis yang dilakukan kepala sekolah itu, jelas apakah para keluarga guru dan karyawan tidak akan memilih dia kalau memang maju dalam pilkada dengan "penekanan" model tersebut. Meskipun terkesan olok-olok, kegeraman dan sakit hati itu nampak dengan jelas dan kuat. Dua, anak-anak diajari bahwa politik uang, mahar politik, dan keberadaan itu yang membuat kepala sekolahnya tidak bisa menjadi pimpinan daerah yang diimpikan. Menarik bukan jika melihat hal demikian, sedangkan kualitas pendidikannya tidak menjadi yang utama. Tiga,menggunakan sekolah sebagai sarana politik praktis. Padahal jelas sudah dilarang. Hal ini juga terjadi di rumah ibadah, toh semua diam, dan tidak bergerak bukan, termasuk penegak hukum, dan perangkat pemilu.

Mahar dan Netralitas ASN, Polisi, Tentara, masih sekadar tataran perangkat undang-undang, namun penegakannya masih sangat rendah. Menarik adalah tidak kurang-kurang sosialisasinya, namun ya itu tadi. Kehendak baik dan keinginan berubah belum ada. Perangkat dibuat dengan anggaran besar namun tidak pernah dilakukan.

Selalu saja menyatakan kurang bukti, padahal hanya karena enggan kerja keras dan melakukan investigasi dengan serius yang memerlukan energi ekstra. Dengan demikian, usai sudah kentut menyebar ke mana-mana dan kembali selesai serta nanti ribut lagi.

Mudah lupa, salah satu karakter aneh bangsa ini, mudah lupa. Mudah sekali digoda dengan isu baru dan yang lewat tidak lagi menjadi perhatian. Tidak hanya sekali dua kali, hampir selalu demikian. memprihatinkan sebnarnya dengan model demikian, kejahatan tidak akan usai karena model pemikiran dan penyelesaian demikian ini.

Permisif pada hal-hal yang jauh dari kepentingan diri sendiri. Politik dan sekolah atau pendidikan itu kepentingan bangsa dan negara, bersama-sama. Tidak patut dijadikan ajang kampanye kepentingan sendiri.  Ternyata hal ini juga berlaku dalam banyak kasus, seperti lalu lintas, dan banyak lagi.

Kemauan dan kehendak taat azas sangat lemah. Perilaku orang dalam menafsirkan banyak hal bisa seenaknya sendiri. Miris sebenarnya jika selalu melakukan hal demikian. mengaku berbudaya luhur, agama sebagai panglima namun perilakunya tidak mencerminkan keluhuran agama dan budaya.

Apa yang hendaknya dilakukan? Jelas pendidikan nilai dan moral bisa menjadi pedoman. Budi pekerti sehingga bisa membedakan mana yang baik dan benar. Mana yang baik dan buruk. Tentu nilai  universal bukan nilai sektarian yang bisa dipaksakan dengan seenaknya sendiri.

Penegakan hukum,sekaligus dengan memperpanjang ingatan. Mudah lupa pada hal yang penting namun malah ingat jika hal remeh temeh. Perlu diubah kebiasaan ini, pun dengan penegakan hukum. Perangkat hukum ada, pelaksanaannya yang sangat rendah. Sikap inilah yang membuat pelanggaran hukum merajalela.

Ranah agama bukan semata hapalan dan rapalan.Itu penting namun tidak cukup, jika tidak dibarengi dengan perilaku yang sejalan dengan apa yang diketahui dan dilafalkan. Selama ini semua pelaku itu juga umat beragama, tidak jarang adalah juga pemuka.

Apakah hal demikian akan terus dibiarkan? Anak bangsa hidup di dalam ketidakelokan berbagai hal. Hidup di dalam kepentingan sektarian yang membelenggu?

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun