Pada Pilkada Jateng kemungkinan besar hanya akan ada dua pasang saja yang maju, kecuali ada drama yang luar biasa besar. Tapi mengharapkan drama yang luar biasa besar itu terjadi kemungkinan yang amat kecil. Akhirnya ada dua bakal calon yang diusung oleh partai politik yang ada.Â
Menarik adalah soal bakal calon gubernur relatif sama. Kontestasi ini jauh lebih mendapat sorotan pada sosok kedua wakil di mana Pak Yasin dan  Bu Ida yang memiliki catatan masing-masing.
Tentu banyak yang paham siapa Pak Ganjar dan siapa Pak Sudirman. Relatif sama bagi keduanya. Prediksi yang akan dikembangkan adalah kampanye soal KTP-el, dan semua masih dalam batas abu-bau. Artinya keduanya masih bisa seimbang. Keunggulan Pak Ganjar adalah gubernur yang memang menjabat, suka atau tidak punya banyak peluang untuk mengenalkan diri dengan secara tidak langsung.
Pak Ganjar relatif tidak ada masalah yang sangat fatal. Lebih cenderung positif daripada sekadar netral saja. Memang tidak fenomenal amat sih, masih dalam level rata-rata plus dikit. Pak Said pernah berada dilevel menteri, pengetahuan mengenai pemerintahan dan isu-isu strategis jelas snagat membantu pembangunan Jateng, Hanya masalah Jawa Tengah dengan lebih mendetail dan mengena jelas perlu waktu lagi.
Keduanya cenderung nasional, memang Pak Said lebih ke religius, pemilih tradisionalis dan fanatis, namun masih unggul Pak Ganjar, di mana PDI-P dan PPP kemungkinan sangat kecil lepas memilih pasangan sebelahnya. Malah potensi mengambil suara dari pasangan pendukung Pak Said lebih terbuka. Pesisir utara dengan keberadaan PPP, lebih kuat memilih pasangan Ganjar-Yasin. PKB pun bukan "penguasa" Jateng dengan militan, apalagi sosok kharismatis Kyai Moen.
Peran Bakal Calon Wakil Gubernur
Yang paling menarik dari pertarungan ini adalah posisi wakil yang bisa menjadi penentu kedua pasangan untuk mendapatkan posisi Jateng 1 dan 2. Mereka sangat menentukan suara akhir dengan keberadaan baik keunggulan ataupun kelemahan.
Melihat sepak terjang dan nama Pak Yasin, mendapatkan posisi yang lebih menguntungkan. Identitas yang mau tidak mau masih sangat berpengaruh. Asal Pak Yasin yang Jawa Tengah dan berada pada posisi sebagai anggota dewan Jawa Tengah tentu lebih menjual dan lebih tahu seluk beluk dan kepentingan Jawa Tengah, dibandingkan Bu Ida yang asli Jawa Timur, eh bekerjapun sebagai anggota dewan pusat, yang artinya lebih banyak menghabiskan waktu bekerja di Jakarta.
Mbah Kyai Moen mengatakan soal putranya yang diberikan kepada Pak Ganjar, padahal Pak Said juga sudah menghendakinya, tentu juga sangat membantu.Â
Saya suka Pak Ganjar dan pembangunan perlu dilanjutkan....Â
Bisa diterjemahkan bahwa siapapun yang mendengarkan beliau akan ikut pilihan beliau. Ini soal kawasan, pilihan politik, juga religiusitas. Pantura bisa menjadi panenan Pak Ganjar.
Mengenai asal usul partai dan warna religius, baik Pak Yasin dan Bu Ida memiliki latar belakang yang tak jauh berbeda. PPP dan PKB di Jawa Tengah masih sama, tidak jauh-jauh amat. Lebih menentukan mengenai pemilih Pak Yasin dan Bu Ida yang berbeda. PKB pun kalah tenar jika berhadapan dengan PPP di Jawa Tengah dengan keberadaan bapak dari salah satu calon. Unggul cukuplah pada posisi wakil dari warna religiusitas dan partai politik pengusung.
Mengenai perempuan, isu yang bisa dijual untuk pasangan Said-Ida, mereka bisa unggul dari pemilih perempuan tentunya. Harapan baik bagi kemajuan berdemokrasi di Jawa Tengah khususnya.
Kedua pasangan memiliki kapasitas yang relatif sama. Tidak begitu banyak pengaruh luar yang bisa menjadi senjata untuk merusak apa yang ada. Dukungan partai pendukung pun memiliki basis massa dan karakteristik yang sama-sama bisa diharapkan. Kejelasan pilihan bisa diprediksikan dengan tidak akan beda jauh.
Mesin politik partai lebih cenderung berat pagi posisi pasangan Said-Ida, karena PKB yang bukan kader dari Jateng tentu menjadi hambatan psikologis tersendiri. Pengenalan calon pun kurang, bagi kader partai sekalipun. Ini tentu sangat riskan. PKS dan Gerindra memang cenderung memiliki basis massa yang akan bulat.
Suara mengambang menjadi faktor penentu lain, selain karena wakil gubernur. Pemilih rasional, non partisan, dan yang tidak begitu minat politik, tentu juga besar. Dan siapa yang bisa mengambil manfaat dari mereka tentu bisa diharapkan memenangkan pemilu kada kali ini.
Kondisi yang baik seperti itu, dengan imbangnya kedua bakal calon, alangkah akan lebih elok jika pilkada bisa berlangsung dengan baik. Tidak perlu isu KTP-el dan Freeport masuk menjadi bahan kampanye apalagi jika hanya rumor via media sosial. Â Demokrasi bermartabat bisa dilakukan dengan baik.Â
Nasionalis-religius bersatu di kedua posisi. Mempermasalahkan identitas juga sepatutnya tidak lagi masuk dalam kampanye kali ini, walaupun belum bisa sepenuhnya lepas dari model demokrasi sektarian. Â Masih perlu waktu, bisa dimulai sejatinya. Kehendak baik bukan semata pakta atau tanda tagan dan seremoni kampanye damai, namun nyatanya sama saja.
Jawa Tengah bisa menjadi pioner demokrasi modern, bermartabat, dan berkelas jika mampu menjadikan potensi yang ada ini menjadi fakta yang sejalan. Semua pihak perlu mengedepankan pemilu modern.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H