Menarik apa yang diwacanakan PDI-P untuk "memberikan" pekerjaan pada Djarot. Usia masih cukup muda untuk berkarir di dalam pemerintahan sebagai  gubernur. Toh, ia tidak gagal dalam memimpin Jakarta, baik secara faktual ataupun politis dalam sudut pandang kepentingan di Jakarta.Â
Usai menjabat di Blitar dan mendapat promosi di Jakarta, baik sebagai wakil ataupun gubernur, prestasinya cukup baik. Wajar jika ketua umum PDI-P melihat jangan menyia-nyiakan potensi ini.
Sumut dan "pendatang," salah satu bakal calon sudah menyatakan, bahwa ia berasal dari Sumatera Utara. Hal yang sangat wajar, biasalah dalam berpolitik, apalagi demokrasi Indonesia yang lebih lekat dengan primordialisme, labeling, dan mengedepankan yang sektarian. Namun toh sejarah Sumatera Utara  juga pernah dipimpin gubernur dari Jawa Tengah oleh Pak Gatot yang berasal dari Magelang. Tidak ada masalah sebenarnya.  Hanya perlu siap-siap saja akan dimanfaatkan dalam kampanye yang berkisar soal ini.
Potensi Pak Djarot memang masih eman kalau ditepikan, usai  pengabdiannya yang tergolong sangat singkat di Jakarta. Meskipun sangat riskan dengan politik dan kampanye sektarian yang makin menguat dan menggila akhir-akhir ini. Sebenarnya banyak tempat yang bisa lebih menerima dan risiko potensi  kampanye lebih kecil, seperti Jawa Tengah atau Jawa Timur. Unsur kultural yang mirip, ingat ini bukan soal  rasis namun mencoba untuk lebih mengurangi hal yang tidak berguna.
Memang jika salah satu pembelajaran bagi demokrasi yang lebih dewasa, mengusung Pak Djarot menjadi penting. Paling tidak ada dua, yaitu mengenai hal ini Nusantara, bukan soal asal dan kedaerahan lagi. Pendidikan politik yang baik, bahwa siapa yang mampu bisa menjadi pemimpin di mana saja. Kedaerahan yang sudah dikikis oleh Budi Utomo lebih seabad lalu perlu diingatkan lagi, agar tidak mundur seperti yang sudah-sudah. Dua pengalaman besar pilpres 2014 dan pilkada DKI cukup.Â
Kedua, pembelajaran politik, bahwa berdemokrasi bukan semata populer dan menang, namun mengusung rekam jejak dan bisa memimpin. Populer dan menang namun ironis dengan mengambil dari kader partai lain, atau mengambil dari militer, polisi, atau artis (khusus di sini lho, di lain  tempat, sih sama saja, he...he...). Keberanian mengusung kader sendiri dengan latar belakang yang bukan asalnya, namun memiliki kemampuan yang patut diapresiasi.
Sumatera Utara sebenarnya jauh lebih menjual dan menjanjikan pada pribadi Ara misalnya. Muda, loyalis, dan tentu mengikuti trend soal asal-usul. Maruarar Sirait juga sepanjang ingatan belum pernah tersebut dalam kasus berat apalagi dalam kasus korupsi. Sangat baik bagi kaderisasi dan penghargaan yang patut bagi dia.
Atau mau memberikan posisi pada Masinton atau Efendi Simbolon, daripada ribut yang tidak produktif, lebih baik dan manfaat energi besarnya dimanfaatkan untuk mencoba menjadi pimpinan. Apakah bisa dan sukses atau hanya banyak omong namun tidak bisa membuktikan. Semua itu perlu bukti, beda kalau di dewan masih bisa sembunyi. Pimpinan daerah jelas asli kualitas yang ada di sana.
Mengapa bukan Jawa Tengah saja? Pertanyaan menarik sebenarnya. Kultur dan karakter yang tidak banyak berbeda sebenarnya lebih pas dengan alam demokrasi di negeri ini, yang masih berkaitan dengan label dan primordialisme, kesamaan ini dan itu. Posisi Pak Ganjar yang rawan pada kasus e-KTP sangat riskan untuk menjadi andalan.
Ganjar yang meskipun tidak moncer-moncer amat, masih bisa lah untuk tetap menjabat. Namun toh sangat mengkhawatirkan kondisinya. Tersandera kasus e-KTP yang hingga kini belum jelas. Jauh lebih bijak bagi partai untuk  memfokuskan kader yang benar-benar bersih saja, daripada menjadi ajang kampanye hitam, salah satu yang lebih menguntungkan juga pembelajaran politik, sehingga ada dua juga di sini.Â
Pertama, keberanian bersikap atas kader yang disebut, terindikasi, apalagi sudah masuk menjadi tersangka dan seterusnya. Jika berani demikian, jempolan dan partai politik yang bisa menjual untuk pemilu dan pilkada.Â
Berbeda dalam arti yang positif. Kedua, meskipun potensial karena bisa menjadi sasaran empuk kampanye jelek, lebih baik tidak dilanjutkan. Tidak perlu menjual derita apalagi sampai menyalahkan pihak lain, ketika nantinya, misalnya tetap calonnya Pak Ganjar ada perkembangan baru dari KPK. Masih banyak kader lain yang bisa sebenarnya di Jawa Tengah. Jateng tidak kekurangan kader, baik yang memang berprestasi ataupun kekuatan lainnya yang dimiliki.
Menarik apa yang akan terjadi di dalam pertarungan demokrasi di Sumatera Utara. Salah satu pusat dan konsentrasi massa di luar Pulau Jawa yang terbesar dari sisi barat. Keberagaman etnis dan budaya juga sangat besar. Salah satu Bhineka Tunggal Ika yang bisa akan diusung bukan malah sebaliknya. Hal yang demikian tentunya tergantung juga kehendak baik dari para kontestan, dalam hal ini para bakal calon dan partai politik yang mengusungnya.
Janganlah perjuangan Budi Utomo dan bapa-bapa bangsa dikalahkan demokrasi akal-akalan sok modern yang diusung beberapa pihak. Cukup masa pemilihan primordial yang tidak bermutu.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H