Dua Anak Presiden  Menghadapi Pilkada, antara Yenny Wahid dan Agus HY
Dua  anak presiden menghadapi pilkada, antara Yenny Wahid dan Agus HY, menarik apa yang ditampilkan dua anak presiden dan satu presiden ini ternyata membawa dua contoh bagus dalam alam demokrasi yang sedang bertumbuh. Satu sisi jelas nampak membela kepentingan kelompok, keluarga, dan diri sendiri, cenderung lebih berorientasi pada kursu dan kekuasaan.Â
Pada sisi lain, lebih mengetengahkan demokrasi berkelas, meskipun jelas tidak lebih menguntungkan dalam waktu cepat dan singkat. Bisa saja memperoleh lebih besar dengan menjadi menteri misalnya. Sikap yang memberikan pembelajaran yang penting, bahwa dua hal itu bisa juga terjadi, ada yang instan ada yang matang dan benar-benar memikirkan banyak segi di dalam berpolitik praktis itu.
Beberapa waktu lalu, banyak yang terkaget-kaget ketika Pak Beye mengusung puteranya yang masih aktif dalam dunia militer, pangkatnya pun masih belum level gubernur di Jakarta lagi, toh dipaksankan masuk dalam kontes itu. Rekam jejaknya masih belum panjang, pun dalam menanggapi isu-isu kekinian pun belum begitu jelas. Tidak heran begitu babak belur di dalam debat dan kelihatan apa yang ada di sana adalah kepentingan, pemikiran Pak Beye dan bukan asli orisinil dari kiprah atau rencana Agus pribadi sebagai seorang calon gubernur. Wajar pula ketika banyak partai pendukungnya malah setengah hati untuk bekerja keras menggerakan mesin partainya. Berat menjual nama baru yang cenderung hanya mengandalkan nama di belakang saja. Mendadak dan terkesan sangat dipaksakan jauh lebih terasa. Pilihan kampanye, pilihan untuk bersikap dalam debat, dan buah pikirnya memperlihatkan gamang jauh lebih terasa dan itu yang membuat nilai buruk di depan pemilih. Ketika kini, pilkada lewat Demokrat dan jajaran mengeluhkan soal perilaku penegak hukum, tentu itu bukti kegagalan sendiri yang mau ditutupi dengan mencari kambing hitam.
Sikap Pak Beye yang mengadkan konperensi pers menunjukkan hal yang sama. "Pemaksaan" kehendak untuk menyingkirkan salah satu kandidat kuat, memberikan sedikit bukti bukan demokrasi yang berkelas, namun demokrasi level akal-akalan yang ditampilkan. "Kemarahan" yang begitu jelas nampak bagi seorang Pak Beye memberikan celah bahwa ada apa-apa di balik pencalonan sang putera, dan itu adalah kelemahan yang fatal.
Kini sekian lama berlalu, jauh berbeda yang ditampilkan Yenny Wahid. Putera presiden ketiga, memiliki massa militan yang tidak sedikit. Dukungan parpol karena dicalonkan, diminta, bukan mencari partai. Hal ini juga berbeda, baru ada, partai politik dengan kekuatan cukup namun ditolak calon yang dirasa juga kuat. Meskipun ketiga partai politik bukan basis massa kuat di sana, toh cukup mengusung bakal calon untuk mendaftar minimal. Patut mendapat apresiasi tinggi atas  keberanian Mbak Yenny yang melepaskan kesempatan emas untuk mencoba maju di dalam sebentuk kompetisi yang lumayan bergengsi. Namun demi memikirkan hal yang lebih besar berani menolak.
Ketika banyak orang  degradasi, Mbak Yenny membuktikan bahwa kiprahnya sudah nasional, bukan lagi lokal dan regional. Pembelajaran penting, pengalaman selama ini, mendampingi almarhum Gus Dur sebagai presiden ketiga, di partai politik meskipun tidak secara langsung dan terus menerus, sebagai pegiat banyak organisasi sangat cukup untuk menjadi bekal, lebih dari sekedar gubernur. Apalagi soal ketidakmauannya untuk menjadi bahan pemecah belah sebuah kelompok. Ide, gagasan, dan tanggapan soal kepentingan nasional sudah sering terdengar.  Apa yang menjadi keputusannya jelas level yang berbeda bagi bangsa ini yang masih sering berkutat pada kelompok, golongan, dan persamaan ini itu yang sejatinya sudah diruntuhkan oleh Budi Utomo, namun malah kini digiatkan lagi oleh beberapa pihak itu.
Beberapa hal baru dari sikap Mbak Yenny. Keberanian menolak apa yang bukan menjadi kapasitasnya. Identik dengan olah raga, sudah main level internasional namun masih juga berlaga di PON demi bonus. Menteri, mantan menteri yang bertarung pada level walikota dan bupati. Sebenarnya tidak ada yang salah, namun kalau kalah dan tidak membawa perubahan, malu bukan? Dan itu ternyata tidak menjadi pertimbangan banyak kader yang ingin kursi. Lihat saja Nur Mahmudi, Suswono, dan banyak lagi yang kalah dan tidak terbukti kinerjanya. Terbaru ada menteri dan pangkostrad yang bertarung pada wilayah jauh di bawahnya.
Pemikiran bahwa sudah banyak pihak yang menggunakan basis massa yang sama. Hal yang sering juga diabaikan dalam pesta demokrasi bangsa ini. Bagaimana sesama partai politik apalagi ormas yang berawal dari basis massa yang maju bersaing dan sering tidak sehat pun terjadi. Dengan kebesaran hati mau memikirkan ini dan bukan menambah keruwetan, dan menyatakan tidak sanggup. Ada dua potensi, banyaknya golongan putih yang tidak memilih, pun ada pula kemungkinan pecah dan bisa berkepanjangan. Ternyata potensi ini yang dilihat dan kemudian memutuskan untuk menolak. Partai politik ada lho, tidak perlu mencari.
Keberanian menolak partai politik yang semua sama saja minim kader yang "menjual". Potong kompas dan mengambil siapapun asal tenar dan bisa menang, meskipun itu kadang tidak cukup pengalaman juga. Menjadi pembelajaran bagi pesohor lain untuk tahu diri, bahwa belum tentu juga menguntungkan usungan parpol itu, kepentingan partai jauh lebih kuat, dan itu bisa merugikan pada calon sendiri. Hal ini yang bisa dilihat Mbak Yenny dan diputuskan untuk tidak ikut alur parpol.
Potensi besarnya tidak perlu dirusak dengan kekalahan apalagi jika diributi dengan perselisihan berkepanjangan. Ada pos menteri, atau wapres yang jelas memang kapasitasnya. Mengabdi pada negeri banyak cara dan dalam berbagai jalan.