Demokrat Mengusung Joko Widodo di Pilpres 2019
Demokrat mengusung Joko Widodo di pilpres 2019, menarik, apa yang disampaikan politikus mengenai "cerainya" PKS dan Deddy Mizwar. Masalah berawal dari kicauan petinggi PKS di media sosial mengenai penyebab retaknya hubungan.
Tidak lama kemudian ada  tanggapan dari Demiz dan kembali bukti disodorkan. "Perang" opini pun berlanjut dengan politik elit partai Demokrat yang melbar soal ke NTT dan NTB serta pilpres. Demokrat mengaku mereka mengusung dua calon dan sukses untuk 2004 dan 2014.  Tentu berharap juga untuk 2019.
Menarik adalah apa yang disampaikan soal 2014. Tentu masih banyak yang ingat, partai politik main dua kaki paling handal ini. jika mengatakan menang 2014 artinya mendukung Pak Jokowi dan bukan Pak Prabowo.Karena pemenang pilpres 2014 adalah Pak Jokowi, namun mengapa mendapatkan dua kursi pimpinan dewan dan majelis, sedangkan jelas-jelas di sana adalah "kekuasaan" KMP waktu itu.Â
Kedua, jika merasa mendukung Pak Jokowi, mengapa malah tidak mendapatkan jatah menteri? Kedua keanehan apa yang diungkapkan oleh salah satu elit Demokrat hari-hari ini. Tentu bisa jauh berbeda dengan dinamika hampir empat tahun lalu kondisinya. Jelas berbeda banget dengan model Golkar dan PAN yang memang jelas-jelas ada di bawah kebersamaan dengan Pak Prabowo dan kemudian menyeberang dan jelas ada pos menteri untuk mereka berdua.Â
Demokrat sejak dulu hanya diwakili kader yang kemudian dipecat, pada Ruhut dan Hayono Isman. Toh jelas-jelas itu pribadi, meskipun tidak ada ketegangan semisal Golkar atau pilkada DKI untuk keduanya. Kalau politikus yang bicara bukan berarti tidak ada makna, menanti apakah akan ada klarifikasi dari pemilik dan sesepuh serta pendiri Demokrat, jika tidak, berarti memang demikian adanya.
Berkaitan yang sama, soal dukungan capres 2019 Demokrat yang harus didukung oleh Pak Deddy Mizwar, tentu snagat cair, selain Golkar nampaknya belum ada yang menyatakan dengan lugas soal capres Jokowi, bahkan PDI-P sekalipun.Â
Namun PKS seolah menyimpulkan (melalui HNW) kalau Demokrat jelas mengusung Pak Jokowi atau Agus sebagai capres, yang jelas akan berbeda dengan pilihan mereka dalam hal ini Pak Prabowo (paling tidak hanya nama ini yang cukup signifikan) untuk bisa berkontestasi dengan level seimbang.Â
Politik jelas tidak bisa putih dan hitam ala sinetron demikian. Justru kawasan abu-abu yang sangat luas. Membuat vonis hitam putih dalam politik sebuah blunder sangat besar dan fatal.
Tidak bisa dengan sesederhana itu, kalau tidak A pasti B. Apalagi belum tentu juga capres 2019 Demokrat itu berbeda dengan PKS. Hal ini sebenarnya mempertontonkan kualitas berpolitik yang menyatakan hal itu sebagai pribadi naif. Apa yang terjadi dan nampak malah cenderung memperlihatkan kegamangan PKS terhadap calonnya sendiri.Â
Kebersamaan PKS dan Demokrat jelas lebih lama dan "menguntungkan" sebenarnya, daripada PKS dan Gerindra selama ini. Bagaimana mereka bersama Pak Beye selama dua periode, dalam banyak kasus juga mereka bersama-sama.Â
Pernyataan ini justru mempersulit ruang gerak mereka, meskipun dalil soal politik cair itu susah jika sudah seperti ini. perbedaan sikap apalagi dukungan itu biasa, alamiah, normal, mengapa harus diperpanjang terus. Justru sangat merugikan pihak PKS.
Apa yang mau dituju awalnya adalah mempertontonkan kualitas Deddy Mizwar yang kurang bisa dipegang loyalitasnya, namun dengan jawaban yang diberikan, justru menjadi bumerang sendiri. Ingat periode lalu, di pilkada Jabar, Deddy Mizwar adalah calon yang mereka usung. Kemudian mendapatkan KTA Demokrat itu tentu kasus lain.Â
Politik tidak sesederhana itu. Siapa yang malah membuka kedok sendiri dan siapa yang berpegang pada azas kepatutan di dalam berpolitik. Deddy sebagai kader layak mendukung kebijakan partai. (padahal belum tentu juga begitu untuk dua tahun ke depan).
PKS sebenarnya tidak perlu berpanjang lebar soal polemik cabutan dukungan kepada Deddy ini, memang perlu belajar cerdik seperti Golkar. Bisa membuat semua diam dan usai padahal jelas lebih parah model dukung dabutnya, namun bisa selesai dan tidak berkepanjangan. Apalgi kali ini potensi polemik bukan semata pribadi Demiz saja malah bisa melebar ke partai politik secara khusus.
Demokrat yang belum mengusung dengan jelas siapa pilpres mendatang, malah seolah oleh PKS sudah dinyatakan akan berbeda dengan pilihan PKS. Karena nampaknya, PKS akan bersama Gerindra untuk tetap seperti periode lalu. Jelas tergesa-gesa simpulan yang diambil politikus setinggi itu kedudukannya.Â
Demokrat masih bisa ke mana-mana, apalagi reputasinya yang main dua kaki, mana ada yang bisa menandingi. Kecenderungan ke pihak manapun masih sama kuat. Susah malah untuk bisa memastikan akan ada di gerbong Pak Jokowi. Bisa saja Mas Agus, Bu Ani atau siapapun kandidat mereka.
Jabar ini malah cenderung menjadi rebutan elit Jakarta, bukan pesta rakyat Jawa Barat. Pemilu termasuk pemilu kada, harusnya adalah pesta rakyat, kesenangan rakyat, bukan malah ribut yang tidak mendasar, apalagi elitnya, yang sering  tidak tahu apa-apa dengan daerah yang mau mengadakan pesta demokrasi.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H