Tarik ulur dukungan pilkada Jabar, menunjukkan posisi partai politik itu kendaraan ketua umum, bukan rakyat rakyat ataupun konstituen. Beda ketua, beda dukungan bakal calon, dan bisa mengubah keseluruhan peta yang ada. Mengatakan berdasar survey pun bukan karena kehendak rakyat yang didengar mereka namun apa yang menguntungkan saya bagi 2019. Demokrasi macam apa sih yang mau dibangun. Ketika mengutuk fasisme namun menggunakan cara mereka dengan gagah perkasa. Demokrasi akal-akalan makin menjadi gaya hidup partai politik. Ideologi apalagi Pancasila jauh dari itu semua.
Drama, istilah salah satu balon yang masih juga kelimpunga Ridwan Kamil, pun merasakan "tulah" ppergantian pimpinan. Dukungan Golkar ditarik dan diberikan kepada kader sendiri. Jauh lebih rasional karena toh kader sendiri, pimpinan daerah tingkat satu, Â pun memilki rekam jejak tidak kalah moncernya dengan Ridwan Kamil. Mungkin jauh lebih banyak pemilihnya ketika berbicara soal kawasan yang dipimpin. Belum lagi mengenai model dan prestasi yang diraih jelas lebih menjanjikan Dedi Mulyadi. Artinya pilihan Golkar masih sangat logis dan lebih rasional.
Kisah kedua, soal Deddy Mizwar yang ditinggalkan bakal calon wakilnya dengan gerbong pengusungnya, PKS, dan jelas karena Gerindra memiliki bakal calon sendiri. Pragmatisme PKS jelas di sini ketika kadernya diusung menjadi wakil dengan pasti bersama pilihan Gerindra. Namun miris ketika seorang wakil gubernur aktif, ditinggalkan demi seorang yang "bukan siapa-siapa" di Jawa Barat.Â
Membangun nama, citra, dan untuk bisa dipilih bukan semata menempelkan photo di mana-mana yang sangat mengotori pemandangan itu, namun dengan rekam jejak, prestasi, dan jelas dikenal. Pengalaman birokrasi sebagai militer memang jelas mumpuni dengan bintang dua, namun di dunia politik, sangat jauh. Nampaknya, Gerindra dan PKS sakit hati atas PHP dari Deddy Mizwar yang mau membuat KTA, kartu anggota dari kedua partai itu, dan diusung dengan relatif baik, namun masih merasa kurang dan malah sowanke PDI-P. Mereka merasa tersinggung, jelas bukan soal partai namun mengenai rasa pemimpinnya. Namanya partai itu bukan orang, sebentuk organisasi yang idealinya lepas subyektifitas palagi pribadi per pribadi.
Lebih menarik, drama itu kembali memantik ketika PAN pun ternyata mengincar posisi dua, dan bahkan malah gubernurnya bukan sebegaimana dinyatakan PKS dan Gerindra, PAN menghendaki Deddy Mizwar dengan Dessy Ratnasari. Pragmatisme ala dan khas PAN, di mana artis, penyanyi, dan pesohor negeri diusung di pilkada, pileg, dan biasanya memang sukses. Kiprah Dessy di legeslatif terbilang biasa saja, sama dengan kiah artis lain, memang tidak semua. Bisa ada yang sukses mengemban amanat katanya sih.Â
Dessy belum terdengar. Memang kalau tenar dan populer kemudian bisa mendapat suara bisa menjadi jaminan. Sukabumi dan sekitarnya tentu maulah dengan Dessy. Kepopulerannya bersama Deddy yang membuat PAN kepincut. Sepakat mereka populer, namun apa mereka mampu menjadi punggawa Jawa Barat. Ingat birokrasi lho dan mereka berdua minim semua. Komunikasi politik berbeda jauh dengan komunikasi selibritas. Memang bukan hal yang tidak mungkin, namun pertaruhan sangat besar.
Dobel DM. Menarik, kelihatan makin pasti keduanya. Bagaimana mereka mendapt kursi yang lebih dari cukup. Memiliki "pangsa pasar" yang berbeda. Ketika Dedi akan diserang dengan kampanye soal agama, di sana ada Deddy Mizwar. Penduduk kota dan desa juga bisa mereka kuasai. Dedi di pedesaan dan pinggiran, Deddy sebagai pejabat publik di perkotaan.Â
Pengalaman organisasi dan birokrasi bisa saling mengisi bagi Deddy Mizwar yang memang sangat minim. Pasangan yang menjanjikan sejauh ini, bagaimana mereka menempatkan siapa di cagub dan wagub juga menentukan. Lebih ideal ketika Dedi Mulyadi yang lebih banyak memiliki modal politik sebagai cagub. Deddy Mizwar sangat minim kontribusi politik. Suara yang potensial memilih pun menjadi lahan Ridwan Kamil dan PKS bersama Gerindra. Modal kursi pun lebih banyakan Dedi Mulyadi.
Ridwan Kamil yang bersama partai politik menengah kebingungan mengenai wakilnya. Bagaimana ia bisa menjamin kelangsungan duetnya, padahal PKB dan PPP pun menginginkan posisi wakil, apalagi jika Nasdem juga menghendaki posisi yang sama. Posisi tidak mudah karena Ridwan tidak memiliki partai dominan, pun kepentingan partai jauh lebih menguasai peta pencalonannya.
Menarik adalah posisi PDI-P. Sampai hari ini mereka masih diam saja. Mereka memang bisa maju sendiri tanpa perlu rekan koalisi. Toh realistis mereka tidak akan mampu membangun brad untuk menjual calon dalam waktu dekat. Misal ambil saja nama Rieke, toh sudah lama tidak menjadi pembicaraan publik. Susah untuk bisa berbuat banyak. Atau Miing, pun sama saja.Â
Mereka punya banyak kader potensial, namun soal keterpilihan sangat minim. Terlambat untuk menjadikannya nama yang sangat menjual dan tenar. Bila mereka melabuhkan pilihan ke ketiga kandidat pasangat, lebih rasional dan mungkin hanya ke Ridwan Kamil. Di posisi duet DM ada halanga psikologis Demokrat, kembali aneh juga sih sebenarnya. Tentu pasangan Gerindra dan PKS pun sangat kecil kemungkinannya. Jika memaksakan diri maju sendiri risiko besar menanti.