Fenomena "Celup", Pelanggar Hukum, dan Pelanggar Etika
Fenomena "celup", pelanggar hukum, dan pelanggar etika, jamak terjadi di Indonesia orang menjadi heboh pada hal-hal yang sering tidak mendasar, atau ada yang juah lebih mendesak dan penting. Membedakan penting-mendesak, penting-tidak mendesak, dan tidak penting-namun mendesak, atau bahkan tidak penting-dan tidak mendesak itu masih sering kacau.Â
Apresiasi atas kinerja, ide, dan gagasan baik para mahasiswa pencetus "celup", namun ketika itu menyangkut asusila dan etika, Â panjang runtutannya. Apalagi malah bisa jatuh pada bukti prematur, fitnah jauh lebih celaka, dan melanggar hukum pula.
Ranah etika, atau etis, atau moral, atau susila itu berkembang. Contoh konkret saja, bagaimana dulu, tahun 80-an, pacaran saja sangat private, masih belum berani menyatakan diri pada publik, kini, anak-anak sekolah dasar saja bicara pacaran. Ini soal susila, soal etika yang bisa jauh bergeser. Apakah hal ini bisa disanksi sosial? Jelas bisa, namun sanksi hukum, nanti dulu.Â
Susah menakar hukum pada ranah susila karena moral dan etika itu berkaitan dengan subyektifitas yang terus berkembang, bersinggungan dengan peruahan zaman, dan tidak ada patokan yang pasti. Satu pihak bisa saja menggangap itu biasa, normal, wajar, dan yang lain menilai sebaliknya. Â
Nilai moral itu sebenarnya ada tiga, bermoral, artinya tingkah laku baik secara universal, misalnya kejujuran, sikap ksatria, berarti moralnya baik. Namun ada pula tidak bermoral, misalnya bapak memerkosa anak, mana ada moral baik di sana?Â
Jelas semua sepakat tidak bermoral. Namun jangan lupa ada yang tidak bernilai moral, artinya, sama sekali tidak berkaitan dengan norma moral sama sekali. Contoh, mau makan dengan tangan atau sendok, atau sumpit itu tidak bisa dinilai dengan moral tentunya.
Jauh lebih bermanfaat ketika menggunakan ide, gagasan, dan kinerja keren itu untuk perilaku pelanggar hukum,yang sangat mudah, dan jelas tidak akan menimbulkan implikasi hukum ataupu fitnah.Â
Itu pelanggar hukum terutama lalu lintas. Gampang banget, berdiri saja di persimpangan jalan utama, sejam saja akan panen photo keren dan tidak akan bisa dituntut ke muka hukum karena pelaku adalah pelanggar hukum, yang diunggah pun bukan konten pornografi. Jelas parameternya, jelas hukumnya, dan jelas tujuannya. Baru lalu lintas dan jalan raya.
Sanksi sosial yang digagas memang baik dan benar, jauh lebih bermanfaat jika menemukan, mem-viral-kan perilaku aparat, pejabat, dan pelayanan publik yang buruk. Apakah susah? Tidak akan susah, datang saja ke pusat pelayanan publik, terminal atau stasiun misalnya.Â
Ketika petugas mainkan smartphone,atau lalai melakukan tugasnya, jelas itu akan meningkatkan kualitas hidup bersama dengan baik. Luar biasa banyak model-model ini dalam pelayanan publik, terutama, maaf negeri seperti RSU, Puskesmas, dan lain sebagainya.
Pelecehan seksual di tempat umum, beberapa waktu lalu heboh lagi soal adanya "predator" seksual yang memangsa korbannya di tempat umum, ini tentu jelas lebih sahih karena ada pelaku yang sekaligus penjahat dan korban.Â
Beda ketika itu orang berpacaran, ranah rasa yang dikedepankan bisa beda persepsi dan beda batasan, yang berpotensi konflik. Jika ada korban, pelaku adalah kriminal, artinya jelas mereka pelanggar hukum, tidak akan bisa menuntut dengan pencemaran nama baik dan sejenisnya.
Tuh korupsi alias maling berdasi, perilaku sangat buruk yang banyak terjadi namun sama sekali tidak ada yang peduli. Suap di sekitar kita sangat banyak kog. Tentu sangat tidak mudah ketika sudah masuk gembong ber M M yang main.
 Namun recehan pasti satu dua bisa mendapatkan photo seperti ini. gampang banget, ada seragam PNS masih di jalan atau warung kopi pada jam kerja, memang masih ada konflik kepentingan, toh tidak sefatal kalau soal susila. Arogansi oknum  berseragam sangat sering ditemui bukan? Dan ranah ini lebih menjanjikan.
Sekali lagi, sepakat dan apresiasi atas ide kreatifnya, namun penggagas "celup" abai dalam beberapa hal, bukan soal "pelanggaran hukumnya" lho, soal ranah yang diambil. Setuju memang gaya berpacaran beberapa pihak memang memprihatinkan, namun bisa menjadi bumerang karena "nafsu" untuk viralmalah salah makna dan maksud.Â
Misalnya contoh, ada gadis yang mudah bingung, dia kecopetan dan kemudian menangis meraung-raung, dan langsung mendekap orang di depannya, lawan jenis pula, eh yang direkam hanya berpelukannya dan menjadi heboh. Bagaimana pertanggungjawaban secara moralnya coba? Sebagian benar ada pelukan, toh bukan soal nafsu, namun soal empati, dan apa yang menjadi latar belakang tidak kena bukan.Â
Atau pemuda yang lari karena pacarnya diperkosa kemudian pingsan dalam pelukan pemuda lain, diphoto soal homoseksual, padahal tindakn simpatik dan perlu bantuan. Padahal pemerkosanya lari karena malah heboh di sisi korban yang salah paham dan paham salah tadi. Coba korban lebih banyak pelaku kejahatan bisa bebas.
Ranah susila itu perlu pendidikan dan keteladanan.Pendidikan bukan soal kognisi semata, namun juga soal rasa, hati, humaniora. Eh malah hal-hal ini sering dikalahkan dan dinomorsekiankan. Lebih suka matematika, IPA, fisika, kimia, dan seterusnya. Pendidikan agama dan budi pekerti seolah jauh dari kebutuhan generasi bangsa ini. Hapalan dan memenuhi target kurikulum menjadi masalah berkepanjangan.
Keteladanan jelas saja sangat minim. Perilaku jahat malah mendapat pembelaan, bahkan level menteri dan pejabat tinggi saja dengan mudah ngeles dan becanda mengenai moralitas mereka. Mana bisa seorang menteri dengan enteng mengatakan salah klik menyukai pornografi. Bagaimana yang bukan pejabat kalau pejabatnya saja "bejat" seperti itu?
Keterlibatan semua pihak baik. Hukum sosial dan sanksi sosial memang perlu, namun ada hal-hal yang jauh lebih mendesak dan lebih penting juga perlu dipertimbangkan. Perbaikan mutu pendidikan dan karakter sangat mendesak dan itu kerja semua pihak.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H