Padahal jika mau menunjukkan jati diri bukan soal menang, namun jaminan bahwa kader loyal, berprestasi layak menjadi yang terdepan di daerahnya. Gambaran itu masih jauh dari harapan.
Potong kompas dan demokrasi instan makin jelas terlihat. Yang penting tenar, menjadi legeslator, dan kemudian minim kontribusi. Ketenaran dalam banyak bidang yang tidak bersangkut paut dengan politik dan pemerintahan, seperti artis, pelawak, pembalap, atau jenis profesi lain tidak salah.Â
Namun apakah sudah pernah memberikan kontribusi cukup baik, signifikan, dan bermanfaat bagi bangsa, negara, atau daerah. Kecenderungan diam itu emas di perpolitikan bangsa ini tidak demikian.Â
Diam karena tidak tahu malah lebih dominan. Padahal banyak sarana bisa dipakai, memiliki staf ahli dibayari negara lagi, buat apa coba.
Kader mungkin banyak, namun yang memiliki kualifikasi mumpuni masih lemah. Mengapa tidak belajar, baik dengan fasilitator dari partai ataupun mandiri.Â
Hal ini memperlihatkan partai belum bekerja sebagaimana mestinya. Keributan, keriuhan, dan kegamangan selalu hadir menjelang pilkada di mana-mana. Jika memang memiliki jenjang kaderisasi yang baik, tentu tidak akan khawatir, dan risau.
Pilkada serentak juga membuat pemimpin daerah bisa lebih meningkatkan calon. Bagaimana tidak, dulu, calon di daerah B menjadi juru kunci, dan berpetualang di daerah Z bisa menjadi pemenang.Â
Kualitas belum tentu baik juga, hanya karena kemampuan finansial di daerah yang lebih pelosok bisa lebih murah, atau lebih kecil daerahnya. Potensi model politikus demikian bisa terkurangi, dan lahirlah pemimpin-pemimpin berkualitas lebih baik.
Kaderisasi dan jenjang "karir" politik sejatinya sangat penting. Komunikasi massa, jejaring dalam dunia politik sangat penting. Bagaimana keterpillihan dan dukungan itu sangat penting. Menjadi lucu ketika uang dan materi bisa memangkas jenjang kaderisasi itu.Â
Dengan demikian jelas suatu tempat tidak merasa memiliki "wakil" dan si wakil pun tidak mempunyai rasa kepada konstituen dan daerah yang mengusungnya, baik sebagai kepala daearh ataupun wakil rakyat. Hal ini justru sering memperbesar peluang kolusi dan korupsi, karena bukan soal keterkaitan dengan pendukung, hanya soal balik modal. Mau daerahnya maju, berkembang, atau tidak, bukan urusan, pertimbangan ke arah sana tidak ada.
Penegakan hukum sangat lemah dan pola pikir bangsa yang masih mudah lupa. Bagaimana perilaku parpol yang penting tenar ini begitu  kuat dan berulang, toh tidak ada perangkat hukum yang menjerar, juga tidak pernah ada sanksi sosial yang menghukum mereka.Â