Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Prestasi versus Demokrasi Kontroversi

5 Desember 2017   07:49 Diperbarui: 6 Desember 2017   12:45 2353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demokrasi prestasi bagi bangsa ini nampaknya masih merupakan sebuah ilusi. Lebih jelas terlihat demokrasi kontroversi dan hal-hal yang minim capaian lebih banyak mendulang dukungan. Bisa menyebutkan banyak kejadian, contoh, baik pribadi atau lembaga bagaimana kiprah mereka malah mendapatkan cibiran, hujatan, bahkan permintaan dibubarkan, pada sisi lain, lembaga, pribadi individu yang tidak sukses dalam kaca mata massa malah mendapatkan  dukungan, minimal didiamkan. Miris sebenarnya jika melihat sepak terjang hidup berbangsa demikian ini.

Tanpa menyebut dua sosok fenomenal mengenai prestasi, Ahok dan Jokowi, banyak yang sakit perut, juga sudah banyak yang  mengangkat dalam bentuk artikel, toh masih banyak lembaga dan pribadi lain yang tidak kalah moncernya.  Dimulai dari lembaga dulu. Tentu kenal, tahu, dan paham, bagaimana KPK,lembaga yang hingga kini masih mendapatkan kepercayaan yang tinggi. Apa yang mereka lakukan bukan semestinya, dukungan, malah dengungan bubarkan. 

Penguataan dalam kacamata pelaku yang lembaganya termasuk dalam kolom paling korup. Artinya, siapa percaya ketika banyak anggotanya keciduk KPK, rekannya malah memperkuat, sedangkan ide yang berseliweran toh gamblang sangat melemahkan. Menteri Susi.Bagaimana ketegasan, keberanian, dan kekerasan tekatnya untuk membuat laut sebagai milik yang harus dipertahankan dengan seluruh upaya. Penenggelaman yang menuai banyak atensipun, oleh anak negeri dikatakan sebagai hal yang buruk, jelek, tidak bermanfaat, dan sejenisnya. Persoalan kepentingan yang berbicara.  Berapa banyak petualang yang melanglang lautan dengan gratis, termasuk merusak, kini harus gigit jari karenanya.

Dua saja contoh bagaimana prestasi itu belum cukup meyakinkan bagi kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Lebih banyak bandit berkedok sehingga mereka menampilkan wajah santun, tidak neka-neka, padahal pada dasarnya penjahat yang paling keji. Mengenakan pakaian yang rapi, berkelas, kadang juga pakaian keagamaan, namun perilaku yang ditampilkan jauh lebih buruk dari pada gembel yang pakaiannya compang-camping. Lembaga pun tidak kalah buruknya tampilannya.

Bagaimana DPR yang mengatakan KPK superbody, lembaga negara tidak boleh sewenang-wenang, padahal mereka sendiri miskin capaian.  Toh tidak ada kan yang mengajak revisi UU MD3 untuk memberikan misalnya potong gaji jika mangkir dari sidang. Toh ruang sidang melompong, gaji tetap saja menembus kantong. Jangan heran jika mereka ini lantang bersuara untuk pihak lain,, diri mereka sendiri ompong seolah tidak berguna. Minta fasilitas banyak padahal pimpinannya saja lebih banyak tidak bergunanya, baik ide, perilaku, dan pernyataannya. Belum pernah mereka mengakui anggotanya malas. Bisa saja mereka berdalih, apa ini prestasi?

Prestasi malah kadang menghalangi capaian, mengapa bisa demikian? Politik dan demokrasi di sini masih latihan, pokoknya tenar, mau tenarnya buruk atau baik  bukan mejadi pertimbangan. Diperparah media sosial yang memang begitu masif, tanpa dibarengi kemampuan kritis memilah dan memilih. Pokoknya viral, kadang memalukan pun tidak masalah. lihat perilaku elit baik politik ataupun artis. Mereka berlomba-lomba bicara, maaf kadang memperlihatkan kebodohannya pun banyak pemujanya yang melihat sebagai sebuah kesuksesan. Bagaimana bisa mengelabui semua orang, bahwa melanggar hukum, maling, korupsi, kekerasan baik perkataan ataupun fisik sebagai hal yang benar. Dalih membela diri, akhirnya kalau sudah mentok, khilaf dan menangis bombai sebagai senjata andalan.

Penghargaan dan penghormatan pada kekayaan, materi, dan popularitas, bukan karena prestasi positif. Lihat saja bagaimana orang yang tenar karena perilaku buruknya bisa menjadi apa saja di sini. Tidak masalah soal pertobatan, karena toh masih saja busuknya. Orang kaya, mau dari mana asalnya tetap akan mendapatkan penghormatan.

Akhir-akhir ini ditambah dengan tambahan asesoris baik ungkapan atau pakaian keagamaan. Lihat bagaimana pembelaan pada koruptor, masih banyak yang berduyun-duyun, bahkan ada yang suka rela lho. Artinya perilaku jahat mereka tidak dinilai karena pernah membantu mereka misalnya. Kader Golkar pun ada yang mengatakan jangan lupa jasa atau utang budi (uang) Setya Novanto.Padahal beda kasus dong, kalau uang pribadi, hasil keringat sendiri, tidak ada persoalan. Korup ya korup, utang budi bukan menjaid pembenar.

Membedakan antara pribadi, perilaku, dan kepemilikan yang disumirkan oleh banyak pihak yang memiliki kepentingan. Bedakan, misalnya SI A, adalah maling, dengan uang malingannya si A adalah penyantun panti asuhan, tentu tanpa tahu panti asuhan itu akan asal muasal uang tersebut. Si A yang maling pas ketangkap ya ketangkap sebagai maling, tidak meniadakan perbuatan kriminalnya, memang akan menjadi pertimbangan hakim, biasanya akan mengurangi masa hukuman.

Toh perilaku dia sebagai maling tetap melekat, namun ia juga dermawan. Si A bisa kita hormati sebagai donatur panti asuhan, namun sebagai maling tentu perlu kita kritik. Selama ini masih jauh dari budaya kita. Pokoknya A adalah maling yang semua hidupnya buruk, atau dia adalah penyantun yang harus dibela mati-matian. Padahal tidak demikian adanya. Apa yang dibela atau dihakimi hanya sebagian dirinya.

Pendidikan dan juga pengetahuan serta pemahaman agama sangat penting. Lembaga pendidikan dan lembaga agama seyogyanya mengantar anak didik untuk bisa memilah dan memilih bukan malah ikut terlibat di dalam kekacauan penilaian ini. Sebenarnya banyak kog yang tahu perbedaannya, namun memang dibuat kacau karena kepentingan, apalagi jika politik sudah membuatkan campur aduk tidak karuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun