Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menunggu Kiprah (Alumni) 212 dalam Sebuah Parpol

29 November 2017   08:19 Diperbarui: 29 November 2017   08:48 2981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menunggu Kiprah (Almuni) 212 dalam Rupa Parpol

Menunggu kiprah  almuni 212 dalam rupa parpol, apa yang dilakukan "gerakan" atau "solidaritas" atau apapun namanya yang mengambil nama 212 dan kini menjadi alumni 212, yang akan mengadakan reuni pertamanya, ada ide juga membuat kongres. Apa yang mereka lakukan jadi mengingatkan akan perjalanan sejarah bangsa ini dalam berorganisai, Boedi Oetomo.

Budi Utama mengadakan inisiatif untuk nejadi partai politik, modern, dan terdaftar dalam pemerintahan penjajahan Hindia Belanda, pertama waktu itu juga diawali dengan pemikiran kritis, menuliskan, dan mengumpulkan beberapa orang yang kemudian menjadi cikal bakal organisasi dan sebenarnya lah partai politik pertama-tama.  Perbedaan sedikit namun fundamental adalah jika Bodi Oetomo berdiri mengatasi golongan, kalau yang ini identik dengan justru memperbesar adalah perbedaan. Apa ini yang namanya zaman now dan zaman old, gaya sedikit biar dianggap kekinian dan melek budaya pop.

Kiprah 212 dan alumninya, sebenarnya baik di alam demokrasi, sepanjang itu masih dalam koridor hidup berbangsa dan bernegara yang sah. Pancasila dengan seluruh elemen yang mengikuti, tentu menjadi pedoman, pemikiran, dan motivasi di dalam bertindak. Ketika menggunakan salah satu jenis etnis, agama, kelompok sektarian, ataupun jargon-jargon primordilisme, sebuah tanya, bagaimana negara ini justru mundur hampir 90 tahun dari acara pemuda dengan Sumpah Pemuda-nya atau bahkan hampir seabad lebih satu dasa warsa sesudah Boedi Oetomo mengajak untuk maju dengan pola pikir persatuan.

Belanda sukses bercokol selama berabad-abad karena politik pecah belahnya yang sukses dijalankan dan diterima dengan gegap gempita oleh para petinggi-petinggi yang ada di semenanjung Nusantara ini. Nampaknya hal ini akan juga tercipta lagi dengan pola yang sama namun pelaku yang berbeda.

Jika dulu pemecah belah adalah penjajah, kini justu oleh kaum elit yang haus dan tamak akan materi. Kecenderungannya kekuasaan itu hanya sarana semata, untuk memenuhi hasrat tamak akan kekayaan alam Indonesia yang kaya raya. Sejatinya materi, kursi semata menjadi jalan untuk dapat secara sahih maling, merampok, dan berpesta dengan dalih demokrasi. Pelaku becah belah duu adalah para raja, para pangeran, dan kelompok elit lainnya, sedikit berbeda, kini adalah para politikus yang bisa diidentikan dengan para pangeran dan raja masa lalu.

Namun jahatnya mereka ini, para elit politik ini tahu kalau perilaku mereka salah namun sengaja demi memuaskan rasa rakus mereka. Berbeda dengan para pangeran yang memang maaf sangat terbatas pemikiran, pendidikan, dan pengetahuannya. Sangat wajar kalau perilaku mereka bisa dimanfaatkan oleh penjajah untuk mengeruk sebanyak mungkin, dan Belanda yang dulu miskin menjadi kaya, karena dibangun dari kekayaan negeri ini sekian ratus tahun.

Pergeseran pelaku dan otak atau sutradara intelektualisnya saja sebenarnya, cara dan polanya identik, jauh lebih mengerikan pelakunya adalah anak negeri dan tahu bahwa itu merusak bangsa namun tetap saja dilakukan dan dijalankan. Secara sah mereka merampok karena merka juga yang membuat perundang-undangan yang sudah diskenariokan untuk bisa maling tanpa dapat dijerat dengan hukum. Pencurian secara struktural dan sangat masif.

Kembali ke tema 212, meskipun tidak melenceng dengan pemikiran dasar, secara spesifik 212, ini bisa menimbulkan potensi yang jauh lebih buruk lagi, melihat rekam jejak mereka yang menggunakan "hukum rimba" kekuatan massa dengan pemaksaan, hukum seenakya sendiri ditafsirkan, dan menggunakan segala cara untuk kepentingan mereka sendiri. Kelompok dan kepentingan sendiri jauh lebih kuat dan besar daripada hidup bersama sebagai sebuah bangsa.  Menuduh pihak lain sebagi pelaku "penindasan" dan pelaku "penyingkiran" sebagai sebuah dalih untuk meninyingkirkan pihak yang tidak sesuai dengan pemikiran mereka.  Jauh lebih memilukan mereka menggunakan agama sebagai legitimasi perilaku mereka. Apakah benar demikian, tentu bisa dilihat dari rekam jejak perilaku, bahasa yang mereka pilih, dan pola piir yang sejatinya justru jauh dari norma hidup beragama.

Kelompok ini terdiri atas berbagai pihak, dan kecenderungan yang sama, berebut kuasa dan pengaruh jauh lebih kuat. Pemersatu mereka hanya kepentingan, sulit mengharapkan mereka untuk bisa dengan suka rela dan rela hati menyerahkan kursi pimpinan jika mendapatkan kekuasaan, semisal presiden atau kepala apapun itu. Perbedaan yang seringdikedepankan dalam melihat sesuatu, apalagi jika itu adalah kekuasaan. Tidak bisa membayangkan bagaimana mereka akan berebut kursi itu.

Penegakan hukum yang masih lemah turut membantu mereka menjadi besar dengan gaya pemaksaan sebenarnya. penguasaan media sosial dengan setengah fakta yang begitu besar menjadi corong ampuh bagi perilaku mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun