Golkar Partai Seolah Milik Setnov, Uang Sang Tuan Penguasa
Mengapa nampak susah Golkar tegas pada sang ketua umum Setya Novanto? Berbagai elemen baik dalam ataupun luar Golkar menyerukan penyopotan kalau tidak terlalu kasar memecat Setya Novanto, namun toh masih saja alasan demi alasan dipakai untuk membenarkan perilaku dan kedudukan Setya Novanto. Beberapa hari lalu ada gagasan untuk menggelar secepatnya penggantian sang ketua umum, namun dengan gagah perkasa datanglah surat sakti sang ketua dari balik jeruji penjara KPK dan semua usai, diam seribu bahasa, serta kedudukan tetap.
Salah satu sesepuh Golkar yang sekaligus wakil ketua MPR sepertinya paling mendekati jujur untuk mengaku bahwa Golkar dalam banyak kegiatan mengandalkan uang dari Setya Novanto. Hal ini tentu membuat susah para "bawahan" yang telah sering mendapatkan cipratan, kucuran, atau mngkin gelontoran uang yang tidak kecil baik untuk sendiri atau untuk kehidupan berorganisasi.Â
Sangat tidak mungkin Setya Novanto dengan catatan kelam kasus besar dua digit dengan aman sentosa tanpa tersentuh terali besi jika tidak mengandalkan yang namanya uang ini. Trik Setnov yang aman sejahtera melalui semua ketua umum, bahkan dalam geger alias goro-goro pun dia aman, santai, dan melenggang dan malah tiba-tiba menjadi "pemersatu". Â Langkah taktis yang tidak banyak orang mampu jalani. Ini tentu perlu modal yang tidak kecil lho, bagaimana bisa mengatasi semua persoalan di negeri ini kecuali dengan yang namanya fulus?
Coba dilihat sekarang, elit negeri ini, siapa sih yang memiliki kedudukan yang paling aman, nyaman, tanpa nyinyiran oleh rekan selevel? Setya Novanto, lihat bagaimana tudingan kepada presiden sekalipun, menteri-menteri, toh ketua dewan masing senyam-senyum tanpa ada hambatan, di dalam terpaan badai miskin prestasi sekalipun.Â
Toh yang teriak paling rakyat yang tidak "sekelas" dengan kedudukan ketua dewan. Â apalagi para wakil ketua, mana pernah sih mereka teriak, padahal secara nalar mereka yang paling terkena imbas karena porsi yang harus mereka tanggung, toh mereka bahagia, ngakak, bahkan membela dengan surat sakti mereka. Apa kira-kira yang membuat mereka senang dan diam saja? Bisa dijawab sendiri tentunya.
Reformasi, apakah hanya menghasilkan demokrasi akal-akalan dan partai uang semata? Pertanyaan sangat memilukan karena memang demikian yang mengemuka. Partai politik bermunculan mati satu tumbuh lagi, namun dengan pola pikir dan perilaku yang sama. Semua mengandalkan uang, potong kompas, dan minim kaderisasasi selain membajak atau membeli suara.Â
Pragmatisme berpolitik yang membuat belepotan politik etis yang sejatinya luhur dipertaruhkan ke level yang paling rendah karena perilaku politikus yang buruk. Demokrasi bukan semata banyaknya partai saja, namun juga dibarengi dengan pemberdayaan rakyat sebagai penguasa sejati bangsa dan negara. Partai hanya kepanjangan tangan rakyat yang memilih wakilnya. Selama ini, rakyat hanya dikadali, diakali, dan dijadikan tameng kalau mereka terkena masalah saja.
Partai menjadi sarana mencari uang bagi elit partai politik. Distribusi uang lewat partai, mana ada sih uang pribadi yang hasil jerih lelah "dibagi-bagi" oleh pelakunya dengan sukarela begitu saja? Tidak ada, apalagi kebanyakan politikus elit bangsa ini juga pengusaha yang oreintasi jelas untung, masih lemah etikanya lagi. Masih banyak yang lari dari kejaran pajak, namun dengan mudah berbagi dengan sejawat atau kolega yang sama kepentingan tentunya. Artinya, tentu tidak akan berlebihan jika  uang yang dibagi-bagikan berasal dari uang yang diambil dari pihak lain, dalam hal ini uang negara.
Apa yang diungkapkan Pak Hajriyanto ini sedikit banyak mengonfirmasi kalau selentingan BUMN sebagai ATM parpol dan penguasa ada benarnya. Dalam persidangan tipikor lain, Nazar sebagai bendahara umum partai pengasa lalu juga "mengaku" kalau ketua umumnya yang mendekam di penjara juga menikmati uang tidak sah ini untuk kemenangan dalam kongres. Jelas jawaban lugas membantah kebenaran klaim tersebut.
Kejujuran elit negeri ini jauh patut dituntut dengan demo berjilid-jilid dan sangat menistaan agama mereka sendiri, apapun agamanya. Bagaimana tidak mereka bisa memutarbalikan keadaan tanpa malu, risih, dan sungkan, padahal setiap pembicaraan diselingi ayat atau kalimat suci.Â