Belajar Kepemimpinan dari Tiga Gubernur Jakarta Berangkat dari Kisah Nenek Mimi
Nenek Mimi seorang nenek yang berdiam di salah satu rumah susun atau rumah tingkat, ataupun rumah lapis, yang jelas ada dalam sebuah perumahan ala Jakarta, soal nama biar saja berbeda. Beliau yang bekerja sebagai pembuat kardus makanan atau roti, mungkin buruh untuk melipat dari kardus lembaran ke bentuk kotak (terjemahan sendiri), ini mengalami  kesusahan.Â
Dalam keadaannya yang terjepit itu, apalagi beliau sebatang kara menghadapi tiga gubernur Jakarta berbeda dengan tindakan yang berbeda dan tentu memberikan dukungan dengan cara masing-masing. Apa yang dikupas ini bukan mau membahas soal benar salah, patut atau tidak, atau pencitraan atau tulus, kembali kepada pembaca dan para rekan yang membaca untuk mengartikan masing-masing. Â Urutan yang dipakai bukan soal kualitas tindakan, namun urutan waktu sebagai Gubernur Jakarta. Bukan juga soal benar dan salahnya, apalagi kepemimpinan itu bukan soal benar salah semata.
Masing-masing tentu berbuat sesua denga kapasitas, kemampuan, karakter, dan sifat masing-masing. Semua tentu didasari kemampuan, masa lalu, pengalaman, dan latatr belakang sendiri-sendiri. Sekali lagi bukan soal benar salah, atau elok atau tidak, namun apa yang tersaji semata.
Joko Widodo
Apa yang dilakukan orang nomor satu di DKI yang kemudian menjadi presiden ini adalah dengan melakukan pembayaran tunggakan selama beberapa waktu dan untuk bulan depan. Apa yang dilakukan adalah bentuk konkret apa yang dibutuhkan. Â Mengapa? Karena tempat tinggal adalah kebutuhan yang cukup mendasar. Sudah mengutus ajudan untuk melakukan pembayaran dan cukup menenteramkan bagi si nenek yang sendirian. Â Upaya yang cukup baik dilakukan presiden.
Gubernur pengganti Pak Joko Widodo ini memberikan bantuan rutin berupa beras, uang tunai, minyak goreng, gula, dan ikan kalengan sebagaimana dinyatakan oleh si mbah. Pemberian Pak Ahok tentu sangat membantu si mbah untuk meringankan beban. Ada apa yang dimakan dan ada pegangan uang, dan kebutuhan dasar lainnya dengan relatiif cukup. Tentu hidup di Jakarta tidak akan cukup apa-apa dengan uang tunai sebesar itu. Paling tidak ada uluran tangan yang telah memberikan bantuan untuk meringankan.
Anies Baswedan
Dua kali si mbah berkisah bahwa  Pak Anies sebagai calon gubernur saat berkampanye dan saat sudah menjabat gubernur. Apa yang beliau katakan dan lakukan mirip kalau tidak boleh dikatakan sama, merangkul dan mengatakan, " Sabar ya Mbah...."  Sisi yang berbeda yang ditampilkan gubernur kali ini, sisi spiritual. Memberikan dorongan untuk bersabar bahwa semua keadaan bisa teratasi.  Jangan pandang remeh apalagi receh jika mengatakan itu, ingat bangsa ini bangsa beragama dan Pancasila yang sangat kental dengan aroma agama. Mengembalikan keadaan ke dalam tangan Tuhan itu mulia.
Semua memberikan sesuai takarannya. Apa yang dimiliki itu yang dibagikan, diberikan, dan menjadi bagian di dalam kebersamaan.  Melihat apa yang dilakukan, menarik adalah, apakah itu menjadi ciri kepemimpinan masing-masing? Seperti Pak Anies soal  spiritual, Pak Ahok dengan kebutuhan dasar, dan Pak Jokowi dengan infrastrukturnya? Itu kembali kepada pembaca untuk menafsirkan, mengaitkan, dan menelaahnya.