Demokrasi Setengah Fakta, Ala Indonesia, dari Pangemanann (dobel n) hingga Kapan?
Menjelang gelaran pemilu dan pilpres, gejala demokrasi akal-akalan, dan kini setengah fakta mulai menggeliat, dan diprediksikan akan semakin menguat dengan makin dekatnya 2019. Demokrasi setengah fakta itu menggunakan separonya, atau sebagiannya data, dan dilanjutkan dengan bangunan opini atau pendapat yang memiliki tujuan jelas, kepentingan sesaat dan sendiri. Media sosial menjadi sangat penting memegang peran dengan asumsi bahwa konsumen atau rakyat masih mudah diprovokasi, makin lemahnya budaya baca dan cek ricek, serta masih banyaknya pihak yang abai akan ranah etis, termasuk para pegiat agama.
Dalam novel tetraloginya Pramoedya mengambil tokoh Pangemanann dengan dobel n, ia seorang anak bangsa yang berasal dari Sulawesi Utara, dalam kisah itu, ini setting memang masa pergerakan, awal 1900-an. Ia mendapat pendidikan Belanda dan anak angkat Belanda, jadi ia bisa menjadi pejabat cukup penting dan bahkan tinggi bagi pejabat pribumi (gak usah sensi). Demi mempertahankan jabatannya, ia menggunakan data separo benar untuk bisa tetap bertahan dalam kedudukannya dengan mengorbankan Raden Mas Minke, Mas Kartodikromo, bahkan Sri Sundari, yang seorang perempuan. Demi jabatan dan  tentu gengsinya sendiri. Ia akuipada akhirnya kalau ia jahat. Ia juga pernah merasa bahwa apa yang ia lakukan tidak benar. Keluarganya yang orang Eropa dan anaknya yang peranakan, bahkan mengambil jalan pulang ke Eropa, ia habis-habisan, dan sendiri.
Contoh dan fakta demokrasi setengah fakta, banyak banget dan itu dilakukan justru oleh elit dan yang biasa didengar banyak orang apa yang dikatakan dan dinyatakan. Mereka bukan tidak tahu, namun mereka jelas paham arah yang akan terjadi.
Pram melihat bahwa hal itu sebagai sesuatu yang sudah sangat biasa. Teryata ke depan hal itu masih berlaku. Bagaimana kisah dengan setting awal 1900-an hingga awal 2000-an ternyata identik.
Contoh 1. OTT bisa membuat pejabat habis. Iya, jelas sepanjang pejabatnya memang maling semua. Jika pejabat bermental malingnya sedikit berarti masih banyak yang lempeng. Ini mau mendeskreditkan kegiatan OTT yang didahului dengan opini kalau tidak ada payung hukum, bagaimana pencegahan, dan sejenisnya. Yang ditangkap seketika adalah, pejabat habis, pemerintahan piye? Benar pencegahan penting, namun jangan lupa para maling yang telah mengumpulkan banyak uang itu jangan dibiarkan.
Contoh 2. Negara hutang terus. Fakta, tapi ketika diteruskan dengan siapa yang membayar apalagi dikelabui dengan kekayaan negara yang tidak sebanding, dan apalagi pejabat mencuri tidak juga diungkap, kemudian memangnya hutang baru kali ini saja. Faktanya benar demikian, namun penggunaan dana dan potensi ke depan juga perlu dinyatakan. Apalagi jika hutang dan malah masuk kantong pribadi seperti yang sudah-sudah.
Contoh 3. Listrik mahal. Fakta, mengapa mahal, karena subsidi dialihkan. Tepat sasaran, nyatanya banyak juga yang tetap mendapat subsidi. Penggunaan listrik juga tidak berkurang. Sekarang mana ada tukang potong rambut  menggunakan gunting atau pemotong manual, sumur dengan timba, dan gaya hidup semua serba listrik toh tetap juga terbayar.
Contoh 4. Atas nama demokrasi, namun perilaku sebaliknya tanpa mau peduli kemudian ngeles dengan kelucuan dan maaf kebodohannya. Katanya atas nama demokrasi, tapi pemaksaan kehendak menjadi gaya hidup. Menekan dengan kekuatan otot dan massa. Rekam jejak yang makin mudah didapat malah diabaikan. Bagaimana bisa serempak demokrasi dan juga model menang-menangan dengan daya kekuatan massa.
Contoh 5. KPK gagal karena DPR masih penuh koruptor. Benar dalam arti tertentu, namun apakah mereka sudah bebenah? Kan lucu kalau orang diminta memperbaiki dandanannya sedangkan dia maunya telanjang. Atau mau make upnya baik, namun mereka masih bergoyang dengan jingkrak-jingkrak.
Mengapa gaya demokrasi setengah fakta ini kuat?