Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Patung, Toa, dan Gereja, Sensitivitas Hidup Bersama

12 Oktober 2017   05:40 Diperbarui: 12 Oktober 2017   05:43 1119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dua kali dalam waktu yang tidak lama, seorang Kompasianer berkomentar tentang patung. Pertama menyatakan pembangunan patung membuat ramai, kedua, pembangunan patung Tuhan masing-masing yang menyebabkan "terganggu". Tidak persis demikian namun demikian intinya yang saya tangkap.

Kisah yang cukup membantu dan menggelitik, berkaitan dengan dua komentar tersebut, dengan sudut pandang cukup berbeda tentunya.  Kisah pertama,kampung saya itu ada empat pesantren dengan adanya asrama, dan dua hingga tiga kyai yang menerima santri tanpa adanya ruang inap selayaknya asrama. 

Salah satu santri dari kyai itu menteri era lalu. Jadi masjid jelas ada di mana-mana. Salah satu yang paling "ramai" yang ada di ibu desa, di mana posisinya ada di tengah desa persis.  Herannya pengeras suara mereka mengarh ke timur, di mana ada sawah yang cukup lebar, dan ada pengeras suara dari masjid dan pesantren lain. Padahal sebenarnya bisa saja menghadap ke arah selatan yang tidak "bersaing" dengan toa lain. Eh ternyata dikritik oleh salah satu warga, jangan salah sangka ia ini Muslim dan sudah umrah. Mengapa tidak ke barat, ternyata dikritik menantu dari warga yang di selatan tadi. Akhirnya ke timur, meskipun minim manfaat.

Kisah kedua,bapak rekan saya berasal dari Timor Leste namun memilih berkarya di Kupang, menjadi PNS di sana. Pas berkunjung ke Jawa, ia merasa kaget dan tidak bisa tidur, karena saking ramainya masjid demi masjid dengan adanya pengajian dan azan. Bapak ini bertanya pada anaknya, "Memang kau bisa tidurkah?" jelas saja anaknya malah ngakak, kalau tidak bisa tidur sudah mati sejak lama, soalnya dia sudah tahun ketiga di Jawa. Dan bapak itu bertanya hanya pada hari pertama, hari kedua sudah tidak lagi merasa tidak bisa tidur. Semua berjalan apa adanya.

Kisah ketiga,kampung saya yang penuh dengan masjid dan pesantren membuat kebiasaan bangun pagi dengan bantuan pengeras suara di masjid atau pesantren. Itu berjalan sampai  lebih dari  dua dasa warsa, sudah jadi kebiasaan banget. Suatu hari seleksi sekolah berasrama. Komplek asrama dan sekolah ini sangat besar, dan pas hari pertama menantikan suara dari masjid tidak ada, baru sadar karena memang komplek ini jauh dari masjid, ada satu mushola yang cukup jauh, pantes saja tidak ada yang "membangunkan."

Mengganggu atau Tidak, Tergantung Sudut Pandang

Hidup bersama, kalau mencari ramainya, mengedepankan perbedaan, ya selalu ribut. Hidup bersama itu seni untuk bisa menyelaraskan diri. Selaras berarti bisa bersikap secara baik terhadap siapapun, tidak mau menang sendiri juga tidak mau menjadi korban dengan menarik diri secara berlebihan untuk mencari aman. Mau terganggu atau tidak itu tergantung hati, motivasi, dan pola pikir sejak awal. Jika merasa bahwa yang berbeda itu sebagai gangguan, apalagi musuh ya jadinya semua musuh dan pengganggu. Sejak batinnya menemukan kebaikan dan nilai baik dari orang lain, ya akan menemukan kebaikan pula bukan sebaliknya.

Hidup Bersama itu Membesarkan Sikap Menang-Menang

Sejak kecil diajak untuk melakukan sikap menang dan kalah. Mengalahkan pihak lain,, diminta mengalah kalau berseteru, tidak ada dialog, yang kecil harus siap kalah atau mundur. Ini manusia bukan hukum rimba. Sikap menang-menang perlu dipelajari dan dibina sehingga bisa selaras dalam hidup bersama. Hidup bersama itu pasti akan pernah berbenturan dengan kebebasan pihak lain. jika sikap menang kalah yang menadi panglima, jangan kaget kalau semua menjadi bahan keriuhan yang sangat tidak berguna di dalam alam pembangunan.

Sikap Mayoritas-Minoritas Bukan Sikap yang Baik bagi Hidup Berbhineka Tunggal Ika

Pangemanann dobel n dalam Rumah Kaca-nya Pak Pramudya Ananta Toer, menggunakan isu mayoritas dan minoritas, dan ujungnya agama demi kedudukannya sendiri. Sejak lama dikotomi minoritas-mayoritas itu dipakai penguasa politik untuk memecah belah.  Dan celakanya dipakai juga oleh penguasa bangsa yang merupakan anak bangsa bukan hanya penjajah. Bangsa ini bangsa yang plural,  semua anak bangsa memiliki kedudukan, kewajiban, hak, dan apapun yang sama. Tidak ada yang beda baik yang banyak ataupun sedikit.

Penyakit semua Bukan Agama atau Satu Suku saja.

Hal ini perlu diakui, disadari, dan dijadikan bahan permenungan bersama kalau melanda semua anak bangsa apapun jenis dan agamanya. Jika posisi banyak dan kuat bisa melakukan apa saja demi kepentingan kelompok, namun jika kecil sikap sebaliknya. Tentu hal ini tidak sehat dan bisa menjadi bom waktu yang setiap saat meledak. Menekan dan menarik diri bisa menjadi bahaya karena merasa tidak terima dan bila nekat bisa sangat merusak.

Bangsa ini bangsa yang sangat besar. Namun sayang karena kerdilnya beberapa pihak, merasa diri selalu paling benar, dan meminta pihak lain mengalah dan memahami terus. Sikap batin yang perlu belajar untuk menjadi jauh lebih dewasa lebih penting bagi hidup bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun