Beberapa waktu terakhir, beberapa rekan mendiskusikan mengenai kemungkinan politik dan kampanye model DKI Jakarta terulang. Kekhawatiran tersebut karena melihat rekam jejak beberapa pihak yang memakai sistem tersebut menang.  Tentu saja wajar karena memang hal ini bukan barang baru, di tengah latihan demokrasi yang masih sering demokrasi akal-akalan itu, hal tersebut sangat  mungkin terjadi.  Siapapun kandidatnya bisa saja menggunakan cara tersebut, tidak hanya satu pihak, semua pihak potensial melakukan yang sama. Apakah akan memajukan bangsa dan negara?Â
Beda Agama
Ini jelas sangat menentukan. Dalih semua sama pun tidak bisa sepenuhnya diterima. Fakta yang jauh lebih tidak menunjukkan demikian. Artinya, Â senjata yang dipakai kemarin untuk Ahok ada yang tidak bisa lagi terpakai. Maka dicari alternatif dikaitkan dengan komunis dan PKI. Cerdik atau culas yang beda tipis namun patut diakui bahwa memang cerdik yang tidak bermoral menjadi culas. Syukur bahwa hal ini bisa ditepis dengan banyak fakta, data, dan lagi-lagi bahkan pilihan tindakan pun bisa membuktikannya. Hantu komunis susah mengena. Â Perlu dicermati serangan sisi ini pun masih akan hadir meskipun tidak semudah dan semurah Jakarta. Komunis sudah tertepis entah kaitan apa lagi yang lahir nantinya.
Komunikasi dan Pilihan Sikap Blunder yang Tidak Mudah
Sering perilaku Ahok yang menjadi senjata. Arogan, sombong, merasa menang sendiri, dan kasar menjadi pembenar di dalam kampanye untuk mendeskreditkannya. Hal ini susah ditemui dalam diri Jokowi. Dulu istilah lemah yang sangat santer di masa awal pilpres dan awal pemerintahan, toh sudah dibuktikan. Berlaih menjadi pribadi dan pemerintahan represif dan totaliter dengan mengambil isu dan tema pembubaran ormas antipancasila dan mengenai UU Pemilu. Sangat identik pola yang dipakai, meskipun tidak sama persis namun model mencela kepribadian dan kemampuan bukan para capaian apalagi hasil yang terukur. Penemuan kreatif, cerdik, dan kritis sebenarnya. Namun energi yang sangat besar itu habis hanya untuk hal yang begitu-begitu saja, coba untuk membangun negeri.
Pengungkapan dan Penangkapan Penyebar Hoax
Ini sebentuk risiko, di sisi lain ditakan membungkam kebebasan berekspresi, ekspresi yang mana dulu pun penting. Mereka-mereka yang teriak kebebasan berekspresi ini sebenarnya hanya memanfaatkan demi kepentingan sendiri. Selama mereka yang menjadi korban berteriak sebagai represi, ketika menjadi pelaku mereka tidak jarang abai akan etika.Â
Sikap mendua yang mau ditata agar memiliki koridor yang jelas. Kebebasan pun ada batasan dan jelas ranah etis bermain. Kebebasan tentunya tidak bisa dong lepas dari kebenaran sama sekali. Itu bukan bebas namanya bablas. Memang ada yang berpikir demikian, seorang teman saya di akun media sosial menyantumkan status pendidikan dan pengalaman itu bukan dia banget. Diberi tahu bahwa itu salah, dalihnya sakti, toh itu dunia maya dan banyak juga yang manipulatif. Susah pokoknya.Â
Penangkapan dan pembekuan akun memang tidak mudah dan bisa menjadi beban yang tidak mudah dan murah bagi pemerintah. Satu sisi bahwa bisa dijadikan bahan bahwa pemerintah kejam, represif, dan otoriter, atau nama lain. Namun di sisi lain toh kebebasan orang lain juga tidak bisa dilanggar dengan mengedepankan kebebasan pihak lain. boleh mengajukan kritik bahkan harus, asal datanya ada, benar, dan bukan asal bicara kemudian ketika salah meminta maaf. Ini bedanya waton sulayadan melakukan kritikan. Gampang mengatakan ini salah, mana dasarnya pokoke,tentu bukan itu. Demokrasi itu selain bebas juga menjunjung kebenaran dan fakta. Jangan hanya satu sisi untuk kepentingan sendiri, pihak lain pasti salah dan pihak sendiri pasti benar.
Peta Jakarta dan Indonesia Berbeda
Peta dalam banyak hal berbeda. Jakarta dan Indonesia tentu berbeda. Hal  ini yang perlu dilihat dan disadari, ada warna yang lain. Hal ini  nampaknya belum dicermati dengan baik oleh para pelaku yang menyukai kampanye ala DKI Jakarta.