Pertanyaan yang menarik jika berkaitan dengan Kesaktian Pancasila. Akan datang pro dan kontra, apalagi jika berkaitan dengan  komunisme. Hal ini beda kasus dan perlu artikel yang berbeda. Kali ini  melihat dari kaca mata kekinian dan sikap bersama sebagai anak bangsa.
Suatu hari dalam kolom komentar salah satu artikel, ada yang menuliskan, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika disukai minoritas, terutama kalangan China dan Kristen,paling tidak secara garis besar demikian. Â Lho hebat ya orang bisa menerka hati dan pikiran orang lain, dan sependek ingatan saya, jauh dari ulasan dalam artikel itu.
Pancasila dipilih oleh bapak-bapak pendiri bangsa untuk menjadi jembatan yang bisa menyatukan perbedaan-perbedaan yang begitu banyak. Perbedaan jika dibesar-besarkan tidak akan pernah usai, namun dengan kebijaksanaan, keterbukaan, kerendahhatian para pembangun bangsa semua tercipta dengan indah.
Bagaimana tidak perlu Pancasila ketika orang lebih mudah menuding kafir, komunis,bagi orang yang tidak sepaham, ingat sepaham,bukan hanya beda agama. Entah setan macam mana yang merasuki komponen orang yang dalam KTP-nya jelas-jelas menyantumkan agamanya. Dengan mudah mengucapkan salam dan kata-kata suci dalam seluruh acara apapun itu. Pakaian pun bisa melambangkan kesucian seseorang bagi segelintir kelompok. Atau dengan mudahnya membubarkan acara keagamaan karena kelompok ini hanyanya kelompok yang kecil sekali di dalam masyarakat tertentu. Ingat semua agama dan kelompok telah teracuni masalah ini.
Bagaimana kemanusiaan itu benar-benar beradab ketika perilaku biadablebih menggejala. Penonton bola mati karena perilaku bar-bar oleh sesama penonton. Budaya senggol bacok,lebih mendominasi daripada budaya saling sapa dan ramah tamah yang dulu begitu dibanggakan. Ternyata masih sebatas konsep dan wacana yang masih belum menjadi gaya hidup. Persatuan kelompokku merajalela. Keindonesiaan bisa  beraneka ragam seturut kepentingan. Bagaimana pagi mengatakan A siang B dan malam bisa C. Konsistensi jauh dari harapan dan itu merongrong kebersamaan sebagai satu bangsa. Lebih memperbesar penemuan perbedaan daripada persamaan. Perbedaan susah untuk bisa membangun persatuan. Pluralitas adalah anugerah yang selama ini kelihatannya hendak dipaksakan sama oleh segelintir kelompok dan pihak.
Musyawarah dan mufakat sudah jauh dari cita-cita luhur, aku menang dan aku kuat menjadi gaya hidup. Demokrasi akal-akalan bisa dengan semudah membalik telapak tangan tercapai. Demonstrasi atas nama demokrasi untuk memaksakan kehendak, jelas saja perilaku munafik yang telah menodai pula ciri keagamaan berbangsa dan bernegara yang katanya memiliki dasar negara bernamaa Pancasila.Â
Mudahnya orang memaksakan kehendak dalam berbagai-bagai bidang. Bagaimana hal ini bisa ditoleransi jika tidak memiliki landasan yang sama. Sikap menang kalah menjadi gaya hidup bersama. Bagaimana kebebasan dimaknai bebas berbuat apa saja. Padahal jelas kalau kebebasan pribadi akan juga bersinggungan dengan kebebasan milik orang lain. Tidak ada kebeasan absolut, termasuk mengatakan ini itu, mungkin normal bagi satu pihak, bisa sangat melukai pihak lain.
Bagaimana mungkin adanya keadilan jika orang masih berpikir keakuan, egoisme, dan mementingkan diri dan kelompok. Hukum masih awas padahal keadilan seharusnya buta. Kain penutupnya itu telah digerogoti tikus berdasi yang bernama suap dan kolusi. Keadilan masih menjadi elitis bagi bangsa besar bernama Indonesia ini. pajak yang terkumpul menjadi bahan bancaan, proyek apapun namanya menjadi santapan lezat, rakyat hanya menerima keadaan sisa untuk pembangunan. Tidak heran ketika dengan mudah bangunan yang baru usai diresmikan sudah rusak lagi. Proyek abadi di mana-mana, namun kekurangan dan kerusakan di tempat lain tanpa pernah mendapatkan sentuhan magis pembangunan.
Pancasila di era lalu memang pernah menjadi masalah karena penyalahgunaan oleh oknum penguasa. Pancasila tetap tidak salah karena memang nilai-nilai luhurnya baik dan bagus bagi bangsa dan negara. Pemersatu yang paling menjanjikan, apapun latar belakangnya. Satu yang perlu menjadi bahan pembelajaran bersama yaitu sikap untuk rendah hati dan bersikap menang-menang, bukan menang kalah dalam kehidupan bersama.
Konsep mayoritas minoritas bentukan penjajah eh malah diadopsi, dipilih, dan dijadikan gaya hidup oleh sekelompok orang untuk mendapatkan kekuasaan atau kepuasan. Tentu ironis jika hal ini terjadi di dalam bangsa modern yang telah makan asam garam perjuangan. Santapan empuk untuk memecah belah.
Miris ketika agama malah justru menjadi alat pemecah belah. Lebih menyedihkan dalam satu agama, bukan beda agama. Candaan soal agama, suku, bisa menjadi persoalan besar, padahal dulunya hal yang sangat biasa, natural, alamiah, dan sehari-hari. Semua itu kini ke mana?