Usai drama satu babak Setnov dengan pra peradilannya, yang jelas dan gamblang akan berakhir seperti itu, menarik kisah selanjutnya dengan kisah Jonru yang berjuang dengan cara sama berkaitan dengan dugaan atas ungkapan kebencian. Tentu dengan rentang waktu yang dekat, publik akan sangat ingat dua kisah yang susah untuk diprediksikan berakhir sama. Sulit mengira Jonru tidak menggunakan pra peradilan menghadapi kasusnya.
Paling tidak tentu ia akan menggugat cepatnya penahanan dan status yang ia sandang. Mengiingat kisah yang berbeda, akhirnya pun berbeda dengan kisah drama ala Setya Novanto. Novanto tentu orang politik dan sarat dengan kepentingan politis. Jonru yang sering merasa penting dan politis, toh akan ditinggalkan kolega, para pendukungnya, ataupun yang biasa bersama-sama dengannya jauh lebih kuat dan lebih mendekati kebenaran.
Penahanan memang relatif lebih cepat dan bisa dijadikan senjata oleh kubu Jonru dan tim pengacaranya untuk menggugat polisi. Namun perlu diingat, bahwa sang pengacara yang sudah diganti, Razman Nasution pernah mengatakan agar Jonru selama berproses ini menghentikan menayangkan tulisan, kicauan, ataupun status di media sosial yang bisa memperkeruh suasana. Apa yang dilakukan ternyata sebaliknya. Usai pelaporan dari pihak lain, eh ia malah membuat "plesetaan" nama pelapor, dan wajar jika ujungnya dibui.
Penahanan bisa dilakukan  jika berpotensi mengulangi perbuatan. Lihat dengan jelas Jonru melakukannya. Artinya unsur untuk ditahan jelas terpenuhi. Susah untuk mengatakan bahwa ia tidak akan mengulangi, apalagi diperkuat bahwa ia merasa mencerdaskan masyarakat, tidak merasa menyesal kalau membuat status, menulis, atau  berkicau mengenai kata orang unsur kebencian. Ranah hukum yang bisa membuktikan, benar klaim Jonru atau si pelapor, hakim jelas yang diberi mandat oleh UU untuk memberikan penjelasan, mana yang lebih benar dan waras.
Penahanan juga bisa dilakukan karena potensi pelaku, tersangka, terduga itu melarikan diri. Panggilan pertama tidak datang, pas datang, boleh polisi menyatakan kalau pelaku bisa saja lari dan menimbulkan masalah. Coba jika sejak panggilan pertama datang, tentu polisi masih bisa mempercayai dan membiarkan si terlapor, belum tersangka awalnya, bisa saja di luar dan tetap bisa beraktifitas. Subyektifitas polisi dengan dalih perilaku tersangka bisa saja membuat pemercepatan penahanan.
Penahanan bisa dilakukan karena pelaku bisa saja menghilangkan barang bukti. Memang hal ini sangat lemah karena toh rekam jejak digital susah dihilangkan. Meskipun sudah dihapus masih bisa diambil lagi, belum lagi orang yang sudah menyimpan, membagikan, dan merekam dalam berbagai bentuknya. Hal ini susah menjadi alasan untuk menahan. Namun dua dari tiga jauh lebih "membahayakan" dan "membebani" polisi dengan berbagai kemungkinan, tentu penahanannya akan dengan mudah diamini oleh hakim jika mengajukan pra peradilan.
Alasan syarat penahanan jelas terpenuhi, susah mengharapkan polisi pada posisi lemah menghadapi pra peradilan mengenai kasus Jonru ini. Â Hampir semua syarat terpenuhi kog. Susah membuktikan kepada polisi posisi Jonru yang demikian.
Kasusnya pun bukan politis, bukan soal yang mudah mendapatkan simpati dari mana-mana. Memang dulu banyak teman, namun apakah akan tetap demikian? Ah susah mengharapkannya. Bea kisah dengan Setya Novanto yang bisa menyeret banyak pihak dan organisasi. Pembelaan dari yang malu-malu hingga memalukan pun ada. Peristiwa Jonru paling banter juga hanya di 299 saja, dan itu pun bukan yang utama, hanya tambahan yang tidak akan menjadi agenda utama.
Jauh lebih bisa dipercaya kalau mulai balik badan. Bagaimana sering nampak perilaku demikian. bagaimana Saracen yang lalu tiba-tiba langsung pada menolak kenal dan merasa tidak bersangkut paut, termasuk di dalamnya dengan Dewi. Tidak akan ada pembelaan secara terang-terangan. Diam-diam misalnya danapun susah ada yang mau berkorban begitu. Takut kena getahnya. Kalau pas jaya dan banyak yang mendukung ya semua kenal, semua akrab, dan banyak yang manggut-manggut.
Geleng-geleng merasa tidak kenal, jauh lebih banyak akan terjadi. Merasa bukan teman hanya merasa sopan santun jika pernah bersalaman dan berphoto bersama sekalipun. Jangan kaget dan lemes kalau mendengar semakin santer penolakan dan merasa tidak kenal dengan Jonru padahal selama ini paling sering membagikan buah pikir tokoh satu ini.
Ungkapan atau peribahasa habis manis sepah dibuang mulai akan terjadi. Apa yang terjadi dengan Buni Yani pun tidak jauh berbeda bukan? Pemberitaan minim, arahnya pun makin memberatkan langkah Buni Yani sendiri, di mana rekan-rekannya yang dulu mengelu-elukan, barisan pengacara yang berderet-deret?
Pembelajaran yang penting tentunya untuk bersikap sewajarnya saja. Teman apalagi dunia maya beda dengan dunia nyata, padahal di dunia faktual saja kalau sedang tertimpa tangga banyak yang lari, apalagi dunia maya seperti ini. Belum lagi keluarga yang harus pontang-panting untuk banyak hal.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H