Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Si "Dasamuka" Masih Terlalu Sakti

30 September 2017   15:02 Diperbarui: 30 September 2017   15:32 1579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Si "Dasamuka" Masih Terlalu Sakti

Dasamuka adalah tokoh pewayangan yang memiliki sepuluh muka atau kepala, setiap kali kepalanya terpenggal, ia akan kembali menyatu dan pulih kembali, kalau badan dan kepala itu rebah ke tanah. Hanoman atau Anoman yang mengetahui kelemahan ini memilih memenggal kepala dan tubuh Dasamuka dan menentengnya ke gunung untuk dipisahkan dan sekaligus dimusnahkan. Ternyata Dasamuka kekinian ada, bagaimana ia yang terbelit dengan berbagai-bagai kasus masih juga bisa lepas dari jerat hukum. Lebih elok lagi duduk di posisi strategis dua lembaga nasional dan banyak pendukungnya.

Mengapa demikian?

Penegakan hukum masih setengah-setengah. Lebih cenderung menyelesaikan secara politis. Kalkulasi politik menjadi panglima. Bagaimana selama ini, hampir selalu demikian, jika berhadapan dengan tokoh masyarakat, tokoh politik, atau tokoh apapun, hukum bisa tiba-tiba kehilangan nyali. Pedang terhunus itu bisa menjadi lemah tak berdaya dan berganti menjadi cemeti karet yang sangat lentur dan menjuntai ke bawah. Saling sikut dan saling ikat menjadi gaya penyelesaikan di tataran elit. Saling sandera dan dukung tanpa tedeng aling-laing begitu kuat. Hukum mnejadi lemah dan tidak berdaya karena dalih politis demi stabilitas negara. Goncangan besar bisa terjadi dan sejenisnya menjaid lagu lama.

Orang kuat, di balik partai kuat, dan akhirnya membuat yang lainnya lemah. Sejak awal, susah untuk memperkirakan pra peradilan Setya Novanto tidak akan dimenangkannya. Bagaimana hiruk pikuknya para terduga yang pernah disebut menerima uang itu "berjuang." Kekuatan partai politik yang satu ini jangan ditanya. Bagaimana selama lebih dari tiga dekade sudah membentuk birokrasi yang dimaui penguasa kala itu.

Model suap, membela sesama, dan main pasal karet sudah menjadi rekam jejak dan kecerdasan mereka yang susah terbantahkan. Mengubah masih sekedar ide dan wacana, toh jauh lebih kuat yang suka gaya lama yang melenakan, menyamankan hidup mereka, dari pada berubah yang membuat perut mereka sebah. Sekarang mana sih peradilan bersih, peradilan yang berkeadilan, dan peradilan yang taat hukum dan azas. Sudah bisa ditebak kog muaranya.

Pembela, dalam arti bukan pengacara, namun  pendukung, baik ada di dewan atau di partai masih begitu banyak. Satu minta mundur, minta ditahan, eh ada orang yang tidak rela dan mendukung dengan seenuh daya dan kekuatan kog. Artinya, bahwa lembaga satu menyatakan dia bersalah, toh lembaga lain masih getol membela dengan gigih, di tengah badai peradilan bias mau tidak mau, rakyat harus kembali melihat sepak terjang teradilan yang masih saja berkutat dengan prosedural memalukan itu. Keberanian dan kehendak baik semua pihak menjadi panglima jika mau berubah.

Kasus KTP-el melibatkan begitu banyak orang, lembaga, bahkan pribadi, level atas semua lagi. Indikasi itu nampak dari diamnya partai politik apapun namanya. Fraksi di dewan semua menikmati uang itu. Tidak ada satupun partai yang berteriak lantang soal bancaan ini, artinya, indiksi cukup kuat kalau mereka semua sudah menikmati jarahan ini. 

Apa pembelaan diri buruknya kualitas KTP-el yang sangat rendah, kacaunya perekaman data, bahkan bisa saja rekaman yang dulu begitu masif itu hanya kadal-kadalan semata, belum ada rekaman sama sekali. Nyatanya sidik jari yang sngat sederhana itupun oleh kepolisian masih diminta saat membuat SKCK, jika rekaman sudah ada tentu tidak lagi ada syarat perekaman sidik jari. Belum lagi syarat melampirkan photo copy KTP, padahal katanya KTP-el. Toh selama ini semua diam saja, tidak ada yang berteriak. Yang teriak-teriak jelas rakyat yang jadi korban. Mereka diam karena kenyang.

Tiba-tiba sakit, padahal sama sekali tidak pernah ada pemberitaan sakit atau masuk rumah sakit. Tentu beda jauh dengan kisah-kisah penderita sakit elit lain, yang keluar masuk rumah sakit. Lha ini tiba-tiba masuk rumah sakit dan katanya parah lagi. Luar biasa ya sakit kog bisa dipesan waktunya pas dengan kasusnya sedang mau diawali. 

Apalagi lebih hebat lagi kalau tiba-tiba sehat lagi dan sigap seperti dulu lagi. Coba jika kesehatan dan pihak rumah sakit itu benar-benar mengedepankan kode etik dan sumpah jabatan, tentu tidak akan ada orang maling bersembunyi di balik sakit yang tiba-tiba menjangkiti, ini bukan kisah pertama lho. Artinya, bahwa ada masalah dengan etik atau ranah moral bangsa ini. jelas sumpah jabatan dalam berbagai lini telah ternoda.

Peran agama dan pemuka agama untuk selalu mengingatkan pertanggungjawaban moral itu bukan hanya di dunia. Bagaimana sumpah jabatan demikian rendah dicuapkan semata seremoni dan tidak ada hati nurani yang terusik saat melanggarnya. Berapa saja coba yang terlibat di dalam sebentuk "konspirasi" dengan atas nama sakit para koruptor itu? Jelas pertama ada keluarga, kolega, pihak kesehata, lembaga ia bekerja, lembaga penegak hukum, minimal dua, dan semua bisa satu ide. Padahal mereka semua beragama bukan?

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun