Pembinaan jelas  termasuk untuk penonton. Tujuannya menonton kok membawa petasan yang jelas dilarang. Artinya sudah ada niatan tidak baik dulu. Menikmati pertandingan atau petasan, dua hal yang jelas bertolakbelakang. Mana ada sih menariknya petasan, wong menyalakan demi suara yang memekakan telingan sekaligus menutupi telinga.Â
Pecita petasan itu orang munafik, apalagi dilempar ke mana-mana. Dalih yang akan dikemukan kecewa karena yang didukung tidak memberikan hasil  yang diharapkan. Lagi-lagi budaya instan dan relasi do ut des, mereka mau senang, tanpa berpikir kondisi rekan yang bermain. Coba dibalik, penonton itu jauh lebih buruk kog mainnya. Atau karena sudah mengeluarkan uang, coba mana ada sih nonton bola dipaksa. Boleh berharap timnas atau tim kesayangan selalu menang, tapi apa ya bisa demikian? belajar realistis juga. Kecewa boleh, tapi proporsional.
Sistem yang salah akan membuat kondisi tidak akan membaik. Bongkar pasang pengurus, pelatih bukan jaminan sepanjang sistem yang ada tidak dibenahi. Susahnya lagi, tabiat instan, ingin selalu memuaskan, dan tidak siap kecewa bagi penonton melahirkan kekerasan bahkan kematian sia-sia. Luis Milla menjanjikan, kalau karena target mepet gagal dipenuhi dipecat, apa iya pelatih berikut bisa menjamin lebih baik. Ini Indonesia, belum seprofesional Chelsea atau Madrid yang ganti pelatih tidak mengubah keadaan. Barca dan MU saja pernah mengalami kegagalan pergantian pelatih kok. Sistem mereka sudah bekerja saja bisa kedodoran, apalagi belum ada.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H