Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Ketakutan, Politik Agama dan Agama Politik: Sarana Mengejar Kekuasaan

28 Agustus 2017   08:20 Diperbarui: 28 Agustus 2017   17:32 4564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Arok-Dedes, Intrik Politik dan Kekinian

Membaca novel Pramudya Ananta Toer yang berjudul Arok-Dedes, jadi menengok dan melihat fenomena yang terjadi, ternyata identik. Adanya campur aduk politik, kekuasaan, agama, dan ketakutan yang diciptakan. Ujung-ujungnya adalah tahta atau kuasa. Tentu intrik uang dan kekayaan dengan bumbu perempuan ikut serta. Emas sebagai sumber kekayaan waktu itu tentu menjadi sumber  kekisruhan dan saling sikut untuk bisa mendapatkan paling banyak. Ingat kini gunung emas di Papua, ladang minyak di mana-mana, dan tentu juga BUMN.

Politik Ketakutan

Berbagai cara dan ragam digunakan untuk menakut-nakuti.  Tentu jika latar belakang Pram adalah kelompkk ksatria yang berkolaborasi dengan brahmana untuk membuat teror. Persoalan kelas sangat dominan, satu ingin meraih kelas lebih tinggi, yang lain mengangkangi kelasnya yang terbaik, paling patut, dan paling berhak atas banyak hal. Politik ketakutan dilakukan oleh pekerja kasar yaitu pihak yang mau mengabaikan harga diri asal bisa naik kelas dan mendapatkan kedudukan. Menarik adalah apa yang dilakukan saat ini, bagaimana banyak pesohor yang berpura-pura baik, santun, senyam-senyum, dan menampilkan diri paling suci, namun menggerakkan cyber army,preman dengan pakaian agama yang kalau bicara saja memperlihatkan siapa mereka. Saracen jelas gen pelaku politik ketakutan yang disengaj untuk membuat ketakutan dalam masyarakat. ketakutan belum tentu fisik dengan todongan pentung, bisa juga keresahan, seperti garam berkaca, atau sejenisnya. Ketakutan diciptakan untuk masyarakat tergantung pada pihak tertentu. Contoh, pemerintah sipil tidak mampu, yang mampu miiter. Ini pun sudah propaganda ketakutan. Jangan-jangan militer yang membuat kerusuhan.

Agama Politik dan Politik Agama

Sayang sekali ketika agama diturunkan levelnya mengurusi dunia. Bagaimana agen surga malah jatuh menjadi agen dunia. Perebutan kursi secara politis itu sah-sah saja. Namanya demokrasi, ketika agama dijadikan tameng, atas nama Tuhan yang sektarian itu, di mana Keagungan Tuhan jika demikian? Apakah pencipta orang Kristen itu Tuhannya berbeda dengan yang menciptakan oang Hindu misalnya? Atau ada kapling di surga seperti makam di beberapa daerah dikotak-kotakan makam Kristen dan makan Islam? 

Lha kalau begitu nanti di surga bisa juga ada makam Pancasila dan sebagainya.  Sepakat bahwa agama dan negara tidak bisa dipisahkan, namun bukan dicampuradukan, bukan pula saling silang sehingga menjadi kacau balau. Masing-masing ada ranah sendiri-sendiri. Tidak perlu dipertentangkan dan juga tidak perlu dipisahkan demi kepentingan sekelompok kepentingan. Apalagi jika agama dijadikan pangliam untuk menimbulkan ketakutan.

Kekuasaan

Ujung-ujungnya adalah kekuasaan. Sejatinya kursi pemimpin, kekuasaan, dan jabatan adalah sarana untuk membangun. Ingat jika sarana, jelas bukan tujuan.  Bagaimana bisa mengutuk komunisme sebagai jahat namun melakukan cara-cara menindas, memfitnah, dan menakut-nakuti dengan agama yang malah tentu jauh lebih jahat daripada komunisme sebagai ajaran itu. Atau mengutuk fasis yang memiliki prinsip hasil membenarkan cara namun menggunakan segala cara agar mendapatkan kekuasaan. Jangan menjadi tiba-tiba amnesia, ketika caci maki, memutarbalikkan fakta menjadi gaya hidup baruu berdemokrasi di Indonesia.  Mencaci maki liberalisme namun diri sendiri meminta sebebas-bebasnya. Pedang ditenteng atas nama kebebasan, padahal siapa coba yang tidak takut dengan wajah beringas sambil menenteng pedang. Atau anak-anak diajari menyanyikan bunuh-bunuh sekarang juga.

Seharusnya elit, pejabat, para penggede partai politik makin menghayati esensi berpolitik

Kekuasaan itu konsekuesi logis atas hasil kerja keras jangan dibalik kursi itu bisa diperoleh dengan segala cara. Jika demikian apa beda dengan fasis? Katanya antifasis namun ternyata malah jauh lebih menghayati jiwa fasis dalam kehidupan berpolitik. Ingat bukan soal nama atau istilah, namun soal idiologi dan gaya hidup. Jika menggunakan segala cara demi mendapatkan jabatan jelas saja itu fasis dalam versi yang tidak jauh berbeda sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun