Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Senyapnya PKS-Gerindra di Pilkada Daerah

22 Agustus 2017   18:27 Diperbarui: 24 Agustus 2017   12:49 2374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beda dengan gegap gempitanya pilkada DKI, di daerah seperti Jabar yang "basis" PKS atau Jawa Tengah dan Jawa Timur mereka seolah enggan. Mereka lebih banyak diam dan menunggu tidak seagresif di Jakarta. Sudirman Said yang "kader" PKS pun kerja sendirian dengan menjual kesamaan dengan Anies, di Jawa Barat bahkan sempat ada friksi yang cukup mengemuka. Di Jawa Timur mereka memang tidak cukup mumpuni, hanya diam saja.

Nilai Strategis Jakarta

Ada sisi samping yang mau diperoleh dengan gempitanya Jakarta. Jelas Jakarta prestisius, pada pihak lain, sekalian mengharap RI-1 terkena imbasnya. Sebelum kisah penistaan agama Ahok, selalu saja kasus yang dikaitkan dengan gubernur DKI itu akan ada embel-embelnya istana. Tidak hanya sekali dua kali, hampir setiap kejadian. Dua maksud sekaligus, mengambil Jakarta jika mungkin sekalian Indonesia. Tidak heran jika mereka begitu getol dan begitu DKI diperoleh, namun istana masih aman, mereka seperti  habis harapan. Gegap gempitanya berbeda jauh, bahkan sepi, malah sempat bersitegang di Jawa Barat. Tarik ulur kader, yang tidak terdengar di Jakarta, di Jawa Barat sangat santer.

Diam di Banyak Provinsi

Jawa Barat yang masih terkesan tarik ulur, beda banget dengan Jakarta.  Jelas memberikan indikasi banyak hal. Jawa Tengah justru diam seribu bahasa padahal ada tokoh yang seolah sudah menawarkan diri bahkan melakukan banyak hal untuk bisa dikenal dan dilirik partai politik, apalagi dua partai yang potensial  membawa kemenangan bagi mereka. Gubernur Jawa Tengah. Sudirman Said banyak melakukan safari politik untuk mengenalkan diri, namun belum ada tanda-tanda untuk bersiap dipinang.

Mengapa Berbeda Sikap?

Banyak faktor dan segi yang tentu berbeda, karakteristik, masalah, ataupun latar belakangnya. Namun paling tidak bahwa nilai Jakarta sangat spesial. Ini menjadi titik kunci bahwa mereka tidak sengotot di Jakarta seperti beberapa waktu lalu. Dua, aspek RI-1 yang bisa sekali pukul dua lalat terkapar tidak bisa dicapai melalui langkah di daerah lain. Artinya bukan soal pilihan kepala daerah semata, namun menyasar istana jauh lebih kuat dan terasa dengan perilaku yang adem ayem di daerah lain.

Penerapan UU ormas dan pembubaran organisasi radikal juga membuat tensi pemilu kepala daerah tidak lagi setinggi Jakarta dan pemilihan presiden yang lalu. Artinya membawa manfaat yang lumayan signifikan sehingga tidak melakukan sekehedak sendiri, namun berdasar hukum yang berlaku. Paling tidak tensi jauh lebih panas dan tinggi jika UU ormas itu belum diktok beberapa saat lalu.

UU Pemilu yang disepakati, memberikan gambaran pada dua kubu yang jelas, bagaimana mereka melihat demokrasi.  Tentu parpol tidak mau gegabah sebagaimana perilaku di pemilu kepala daerah Jakarta yang lalu. Mereka berhitung juga ke depannya, 2019, apakah perilaku mereka bisa membantu suara mereka di pemilu mendatang atau malah membuat makin suram.

Penanganan serius ujaran kebencian dan tindakan makar yang intensif juga membuat mulai berpikir bahwa negara ini mulai serius dengan banyak hal yang selama ini seolah dibiarkan dan bisa seenaknya saja mengatakan ini itu, kadang tidak berdasar sekalipun. Tidak sedikit elit yang biasa omong besar kini juga tiarap bahkan diam seribu bahasa.

 Kita belajar banyak hal dari pengalaman masa lalu.

Satu, penegakan hukum itu penting. Selama ini pembiaran, hujat, cela, bahkan fitnah bisa seenaknya saja dilakukan. Mau dituduh otoriter, diktator, atau apapun itu, sepanjang UU melindungi dan demi kepentingan bangsa dan negara tidak peduli. Otoriter ketika kepentingan bangsa diabaikan demi kepentingan sendiri, dan melanggar perundang-undangan yang berlaku.

Dua, pencitraan saatnya ditinggalkan. Negara ini terlalu lama digadaikan demi kepentingan pribadi dan kelompok. Pembiaran menjadi gaya hidup, lantang ketika kepentingan sendiri dan kelompok,namun demi negara diam saja. Di sinilah bedanya, tegas dan diktator. Diam demi nama baik taruhannya bangsa dan negara.

Tiga, musang berbulu domba yang mulai ditangani dengan tegas dan tepat mulai menanggalkan bulunya, bahkan mulai balik badan dengan mendukung ini dan itu. Padahal jelas dulu paling anti, namun kini merasa paling berjasa, pada Pancasila  dan NKRI.

Perhatian untuk beberapa hal

Perhatikan priibadi dan kelompok yang tiba-tiba memuji-muji pemerintah, Pancasila, dan NKRI. Jangan lupa rekaman, bukti pernyataan dan perkataan itu mudah diperoleh, mana bisa yang dulu mengatakan Pancasila sebagai hal yang buruk bisa tiba-tiba mengatakan sebagai pengawal yang di depan? Apa bisa dipercaya model pribadi dan kelompok demikian. Ini bukan hanya satu dua, namun banyak, termasuk kelompok dan organisasi.

Jangan pernah dilupakan apa yang sudah dilakukan terhadap, demokrasi, Pancasila, dan pemerintah di waktu lalu, jika kini sudah berbalik pernyataannya. Jangan mudah dilupakan perilaku munafik mereka. Demi kepentingan dan aman sendiri bisa menghianati bangsa dan negara. Perilaku minafik atas nama agama, apa bisa dipercaya. Mereka pejuang uang bukan ideologi, apalagi agama.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun