Keponakan mendapatkan undangan untuk rapat kaum muda Rukun Tetangga. Kepentingan untuk membahas agustusan. Catatan di bawah undangan, semua wajib hadir, jika tidak akan didenda sekian rupiah. Baik juga ini modelnya, memaksa anak muda untuk guyub,dan terlibat.
Dalam pembentukan panitia, ada yang mengusulkan cewek menjadi ketua, salah satu remaja yang memimpi rapat mengatakan pasti Mas X akan menolak, karena perempuan tidak boleh memimpin. Keponakan yang merasa tahu diri sebagai Katolik diam saja. Ada anak lain yang berbeda pendapat ternyata, ini bukan memimpin ibadah tapi memimpin organisasi atau kegiatan, tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin. Si pimpinan rapat bersikukuh bahwa si Mas X pasti tidak berkenan. Menariknya Mas X ini bukan remaja, bapak-bapak malah.
Radikalis sudah sampai sejauh itu
Sama sekali saya tidak mengira sudah sekian jauh merasuk, bahkan desa-desa sekalipun. Di sini pesantren ada lima memang dan Aswaja menjadi pioner. Tetapi toh tampil juga model pendapat demikian. jika perempuan tidak boleh memimpin, salah juga Bu Khofifah, Bu Risma, Bu Susi  dan kawan-kawan. Keponakan yang perempuan itu juga mengatakan kepada saya, buat apa Ibu Kartini jika demikian? Ini setingkat RT lho, artinya mereka sudah sangat dalam masuk dalam masyarakat. paling bawah sudah bisa mereka kuasai.
Ciri Pokoknya.
Selalu terjadi sikap pokoke, bukan dasar atas logika, atau kalau agama juga dalil agama, namun pokoke, bukan jawaban yang bisa didiskusikan, namun mematikan. Hal ini sangat menarik bagi kalangan radikalis yang masuk dalam budaya Jawa yang sangat toleran dan mencari keseimbangan, konsep mandala di mana lebih baik mengalah dari pada ribut. Momentum budaya yang sangat nyaman bagi mereka.
Tertutup pintu diskusi dan mengedepankan ngotot pokoke dan kuat
Ciri lainnya menutup diskusi karena tidak mampu menjawab dengan semestinya. Bahaya karena mereka ini tidak tahu dengan baik apa itu esensi. Hal ini sangat berbahaya karena dikelabui orang yang memiliki kepentingan. Â Ada yang berkelahi tanpa tahu masalah dan ada pihak yang mengambil keuntungan di sisi lain. model kinerja iblis yang mengintai di tempat gelap, ada orang ertikai mereka yang mendapatkan untung? Siapa mereka tentu banyak yang paham.
Remaja, Muda Awal sudah radikal, bagaimana ke depannya?
Miris mendengarnya, di samping rumah sudah ada model demikian. Pemaksaan kehendak oleh pihak lain, di dalam organisasi, apa ini bangsa Pancasila? Â Di mana musyawarah jika selalu saja pokoke, dan itu remaja lho. Masa depan bangsa sudah ada di ujung da tepi jurang, apa masih tetap diam saja?
Tentu ini bukan bicara soal dogma agama, bicara mengenai hidup bersama sebagai masyarakat berbagsa, Pancasila lagi. Jika Pancasila sebagai dasar negara artinya, apa yang boleh dalam Pancasila boleh juga bagi seluruh warga negara. Peraturan agama tentu tidak akan ada yang bertentangan dengan Pancasila sepanjang dihayati dengan benar bukan demi kepentingan kelompok semata.
Paham ini sungguh menghawatirkan bagi keberlangsungan bangsa.
Pemaksaan dogma-dogma agama dalam ranah bermasyarakat tentu sangat berbahaya. Bagaimana aturan hukum bisa dilanggar dengan menggunakan dalil agama, benar tidak pemahamannya? Jangan-jangan salah, konkret mengapa Bu Khofifah diminta mendaftar menjadi calon gubernur jika dalil melarang? Artinya pemimpin masyarakat perempuan boleh, nyatanya Bu Mega bisa kog jadi presiden.
Kedua, ada kelompok, individu yang mengambil keuntungan tanpa bekerja keras. Jika ada pihak yang ngotot dan bersikukuh dengan pilihan dan keyakinannya, bisa bertikai, dan siapa yang untung? Mereka yan menghendaki kekisruhan dan keadaan tidak tenteram terjadi.
Ketiga, pendidikan perlu dikembalikan ke fungsi semula. Terlalu banyak campur tangan politik dan kepentingan di sana. Ini bukan hanya soal agama tetapi lebih jauh soal toleransi, penghargaan akan jenis kelamin sudah menjadi polemik di kalangan anak muda.
Keempat, keteladanan dari sikap elit bangsa perlu dikedepankan yang baik. Selama ini hanya yang buruk saja. Bagaimana anak-anak bisa belajar jika demikian terus.
Kelima, lembaga agama yang berkompeten perlu menyosialisasikan paham yang baik dan benar selaras dengan Pancasila bukan kepentingn politik sesaat dan semata-mata. Mendesak dan penting agar tidak salah kaprah dan malah saling curiga antaragama yang sangat tidak mendasar.
Boleh dan harus untuk menjalankan ajaran agama, tetapi apakah itu selaras dengan kehidupan berbangsa dan bernegara? Apalagi jika itu hanya keyakinan sekelompok saja, bukan keyakinan secara utuh di dalam beragama. Toleransi, penghargaan akan kemanusiaan makin jauh. Agama yang benar oleh pemakai yang benar itu akan mendekatkan kepada manusia satu sama lain dengan lebih baik, lebih dekat pula kepada Tuhan.
Agama dan orang beragama jika membuat resah, ribut, mengajarkan perselisihan, kekerasan, perlu dipertanyakan di mana esensi agamanya diaplikasikan. Agama bukan semata ritual dan asesoris, namun hati dan perilaku.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H