Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lucu, Ironis, dan Legalitas UU Pemilu

21 Juli 2017   11:19 Diperbarui: 21 Juli 2017   15:55 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lucu, Ironis, dan Legalitas UU Pemilu

Ini sih edisi guyon, humor politik saja. Bagaimana negara besar yang latihan demokrasi ini menghasilkan produk undang-undang di dalam aroma dagelan dan kelucuan amat sangat. Selain soal PT yang biar saja itu urusan negara, ada yang jauh lebih esensial dikaji.

Pertama, pimpinan yang mengetukkan palu, sahnya UU berstatus tersangka. Sah secara  quorum, secara hukum, namun apakah secara etis patut? Padahal bangsa Indonesia sedang giat-giatnya memerangi korupsi, eh pimpinan dewan yang terhormat santer disebut dalam kasus KTP-el, eh malah sudah tersangka pula bukan hanya disebut, meski bisa saja hasil kemudian lain.

Kedua, lucu ketika hampir saja sidang tanpa pimpinan karena semuanya keluar alias walk out.Untuk masih ada pimpinan independen yang masih memikirkan kepantasan, dan tidak ikut keluar. Inilah hasil kelucuan luar biasa koalisi dagelan kalah pemilu menduduki pimpinan dewan. Apa jadinya jika Golkar masih pola lama coba, semua keluar, palu bisa ikut dibawa.

Ketiga, soal PT kan selama ini juga begitu, mengapa ketika pemerintahan kini yang mengetuknya dikatakan inkonstitusional?  Artinya, semua hanya semat kepentingan sesaat, kelompok, dan sektarian sempit bukan soal negara.

Keempat, coba jika ini bukan Setya Novanto dari Golkar yang mengetukkan palu, pasti akan heboh dengan statusnya yang tersangka. Untung saja dia dekat dua kubu yang "bersitegang" ini. seumpama ketua itu Gerindra atau PDI-P soal ini jauh lebih ramai dan riuh daripada isinya sendiri.

Kelima, sedang ada pansus KPK  sehingga status tersangka Setyanovanto selaku pimpinan tidak menjadi alasan untuk dihujat. Coba bandingkan saat pimpinan dipegang Ahok. Atau tersangka oleh pihak kepolisian, tentu dewan akan sangat ribut dan menyatakan ini itu, mungkin malah minta diseret ke sel sekalian.

Melihat beberapa hal di atas, memperlihatkan kualitas dewan yang masih sarat akan kepentingan. Benar bahwa mereka memang lembaga politik yang isinya kepentingan dan sejenisnya, namun tentu tidak harus serendah itu. Orientasi mereka semata hanya:

Satu, pokoknya menang. Bahkan suara atau pendapat yang kemarin baik kali ini bisa saja menjadi buruk karena pihak lawan yang menggulirkan. Hal ini menjadi nada dasar asal berbeda salah menjadi pola hidup berpolitik. Mana pernah mikirkan rakyat, bangsa dan negara.

Dua, kedewasaan bersikap.  Kekanak-kanakan dan tidak dewasa dengan sikap yang tidak jelas itu. Sikap sama di hadapan hukum ternyata tidak mereka hormati, padahal mereka pembuat hukum itu. Lihat bagaimana negara hukum, pembuat hukumnya menginjak-injak hukum, tanpa malu, bahkan bangga memperlihatkannya.

Tiga, sikap main dua kaki dan standart ganda menunjukkan mereka miskin komitmen dan idealisme ideologis. Ini bukan spesifik kasus kemarin, namun masalah bangsa yang sangat mendasar. Biasa mencari keuntungan dengan modl demikian. Siapa menguntungkan itu yang didukung. Jangan kaget mudahnya dan murahnya suara sehingga negara yang menjadi korban.

 Empat, pemborosan anggaran negara untuk membeayai parpol dan anggota dewan yang kerjanya hanya memikirkan kepentingan diri dan kelomoknya, sedangkan anggaran negara merupakan hak seluruh rakyat. Mereka teriak-teriak soal pembangunan infrastruktur, eh mereka sendiri malah menghambur-hamburkan uang untuk mereka sendiri, tidak penting lagi.

Revolusi mental mendesak pertama-tama untuk anggota dewan agar mereka merasa malu dan tahu diri.Malu kalau mereka selama ini merongrong negara paling besar secara resmi lagi. Tahu diri kalau mereka minim prestasi selain gontok-gontokan soal uang saja.

Pangkas ekonomi beaya tinggi untuk politik. Selama ini hanya uang yang mengantar mereka menjadi anggota dewan bukan kinerja dan kaderisasi yang baik. Kemauan mereka untuk memperkembangkan diri perlu dikembangkan. Jenjang kepartaian bisa dipangkas dengan uang yang membuat anggota dewan sangat rendah kualitasnya.

Penyederhanaan parpol. Banyaknya partai  politik tidak membuat bangsa menjadi lebih baik. Demokrasi akal-akalan yang lebih dominan. Menjadikan partai tiga hingga lima jauh lebih baik daripada banyak-banyak tidak berguna seperti ini. Tidak perlu takut dikatakan antidemokrasi oleh orang yang hanyaa berkedok demokrasi itu.

Hukum partai maling dan tidak mengingat bangsa dan negara. Mental pelupa dan mudah memaafkan sering dimanfaatkan petualang politik untuk menangguk kepentingan dan keuntungan mereka sendiri. Selama ini, begitu pemilu uang beredar, yang dulu dihujat pun masih bisa melenggang gilang gemilang.

Penyelenggara pemilu perlu tegas untuk mengadakan penegakan peraturan untuk meminggirkan politikus busuk, partai busuk untuk tidak bisa kembali berkompetisi. Selama ini penyelenggara pemilu masih takut dengan intimidasi dari politikus busuk. Apa yang terjadi? Ya kualitas demokrasi hingar bingar tanpa isi ini.

Ternyata agama masih semata ritual, upacara, ucapan, pakaian, belum menjadi gaya hidup dan pedoman hidup. Melanggar aturan agama dengan memfitnah dan membela yang salahpun tidak merasa bersalah. Apakah ini orang beragama yang taat?

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun