Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Menyikapi Persoalan Hukum ala Tokoh-tokoh Ini

13 Juli 2017   08:24 Diperbarui: 14 Juli 2017   10:21 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Semua tentu tahu bahwa kondisi hukum masih jauh dari harapan. Satu pengadilan bisa memutus kasus yang sama dengan hasil yang bertolak belakang. Bagaimana kasus kepengurusan Golkar dan mantan ketua umum PSSI yang berlarut-larut dulu. Di pengadilan A menang penggugat, di pengadilan B menang tergugat dan begitu terus. Patut diduga juga ada mafia peradilan dengan bukti yang belum pernah dinyatakan di peradilan, banyaknya kekayaan dari pegawai di dunia peradilan, baik polisi, jaksa, apalagi hakim. Ditangkap basah ketua MK, hakim MK, jika hakim level MK saja main suap, apa berlebihan jika pengadilan umum ke atas tidak demikian? Wajar jika kemudian banyak yang tidak percaya. Takut kalau dikerjain, takut kalau mendapatkan ketidakadilan, dan sebagainya.

Amien Rais

Tokoh besar dalam banyak bidang, politik, agama, organisasi, dan sebagainya ini menyikapi pernyataan hukum, ingat bukan kasus hukum, dengan adanya pernyataan di  persidangan ada alirn dana ke pihaknya. Apa yang dilakukan? Konperensi pers untuk membantah atau klarifikasi. Kedua mengritik lembaga yang membuat namanya terdengar ikut mendapatkan aliran dana. Padahal baru juga pernyataan hukum, belum sampai menjadi fakta hukum karena nyatanya di dalam vonis tidak ikut nama tersebut.

Rizieq Shihab.

Beberapa kasus yang menjerat residivis ini membuat ia gamang juga. Suaranya yang gamang tiba-tiba diam. Awalnya tidak mau datang dengan berbagai alasan. Datang dan kemudian pergi. Biasanya ia menolak atau tidak mau mengakui apa yang dituduhkan kepadanya. Menjadi saksipun enggan. Perilaku biasany lagi, mengerahkan massa untuk melakukan demontrasi. Kini ia malah pergi ke luar negeri dan meminta pengacara dan koleganya mengadakan rekonsiliasi nasional.

Harry Tanoesoedibjo

Beberapa kasus yang ia hadapi di hadapi cukup berbeda dengan dua kasus di atas. Ia menunda pemerinkasaan dengan alasan yang cukup masuk akal. Menyatakan diri tidak bersalah dan membela diri dengan mengatasnamakan peta perpolitikan 2019. Sikap yang cukup berbeda.

Ahok

Tokoh yang paling laris dengan pelaporan ke mana-mana, KPK, kepolisian, dan entah mana lagi.  Semua ia hadapi dengan caranya yang sering membuat merah telinga pihak lain. Dan akhirnya ia    ikuti proses hukum dengan apa adanya.

Ada beberapa kesamaan pola yang ada.

Pertama, merasa tidak bersalah, ada kelompok lain yang melakukan konspirasi, namun tidak pernah mau melaporkan kepada pihak kepolisian, tidak berdasar, hanya asumsi. Proses hukum sering diwarnai asumsi, opini, dan itu sangat tidak sehat. Bukan menambah peradilan menjadi baik, namun malah memperkeruh suasana.

Kedua, reaksi yang tidak proporsional. Ingat mereka elit bangsa ini. Mereka masuk pada jajaran orang yang bisa membuat merah putihnya bangsa ini. Namun perilakunya sering tidak berimbang. Masalah pendidikan dan perkembangan memprihatinkan berarti. Hukum hadapilah dengan hukum bukan yang lain.

Ketiga, campur aduk masalah. Bagaimana kasus hukum bisa menjadi kasus politik , kasus agama, dan sebagainya. Fokus, bangsa ini sering lepas fokus sehingga krisis identitas.

Keempat, hadapi dengan kepala dingin. Jika memang benar, kebenaran tidak akan bisa dikalahkan. Bagaimana proses hukum harus dijalani. Jalani duku baru dibuktikan bukan berteriak=teriak, kemudian  mengaku. Ini banyak pada kasus lain demikian.

Kelima, pembentukan opini dan juga pemaksaan kehendak. Hal ini masih jamak terjadi dan ironisnya dilakukan elit bangsa. Mereka tidak peduli bangsa merana asal mereka bahagia. Miris sebenarnya jika demikian, ini bangsa merdeka atau penjajahan bangsa sendiri? Elit itu juga bagian utuh bangsa.

Keenam, mengaku ketika sudah sangat terdesak. Sayang sekali merasa bangsa besar, adiluhung namun mental tempe. Banyak kasus tidak spesifik dalam oknum dalam judul, bahwa merek toh akhirnya mengakui. Sikap mental yang payah dan parah.

Sekiranya dapat melakukan beberapa hal untuk perbaikan.]

Pendidikan, jelas sangat memegang peran penting menyatakan kebenaran adalah kebenaran bukan opini apalagi asumsi. Sikap kritis sangat rendah di dalam pendidikan bangsa ini.

Agama, bukan semata ritual dan upacara, namun menjadi gaya hidup dan jalan hidup. tahu bahwa mencuri apapun bentuknya salah, bukan kalau tidak ketahuan itu benar, mana agama yang menyatakan demikian? toh beragama, toh aktif, dan juga tidak kurang ibadatnya, namun sama saja.

Penegakkan hukum sebagaimana mestinya. Hukum ya hukum, jangan campur aduk dengan politik terutama. Selama ini hukum masih kalah dengan uang, tekanan massa, dan sering pula opini bisa mengubah semuanya.

Keteladanan dari elit, sering terulang kejadian justru yang buruk. Miris menyaksikannya, bangsa merdeka namun mentalitas elit seperti penjajah. Menjaga jarak, minta dilayani, menindas, dan sejenisnya. Sikap ini mempengaruhi hukum.

Sikap malu jika ketahuan melanggar hukum.  Jauh dari harapan, karena malah merasa bangga karena memiliki uang dan kuasa. Lihat saja sikap menantang dan malah menindas aparat penegak hukum. Kuasa ini bisa uang atau jabatan.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun