Bandara, Arogansi, dan Tabiat Penggede Bangsa Ini
Kemarin, lagi dan lagi ada kejadian emosional berlebihan seorang ibu terhadap petugas di bandara. Sering terjadi hal demikian, beberapa waktu lalu, petinggi TNI juga melakukan hal yang sama. Jauh ke masa silam, ada menteri minta penerbangan balik lagi karena ketinggalan pesawat. Sebelum itu juga ada petinggi yang tersingung karena ditegor.
Bandara, Level Elit, Perilaku Barbar
Entah mengapa perilaku sumbu pendek, mudah marah, mudah ngamuk gegara hal yang sepele selalu terulang. "Penganiayaan" di bandara bukan barang baru, selalu saja terulang. Memalukan kebiasaan demikian, apalagi sekarang banyak rekaman, hampir semua orang bisa merekam dan menjadikannya bahan pembicaraan. Sebenarnya, bandara, tempat paling elit di antara pusat transportasi lainnya, semisal terminal angkutan darat, stasiun untuk kereta api, apalagi pelabuhan laut. Sangat wajar jika pelabuhan, maaf lebih banyak perjalanan jauh dan panjang, ekonomi terbatas, menjadi emosi dan panas. Ini malah bandara. Luar biasanya bangsa ini.
Kekuasaan, Pejabat, dan Keluarga Pejabat
Kekuasaan bisa diperoleh dengan kekayaan. Lihat saja orang kaya bisa merasa membeli semua hal. Membeli kursi jabatan struktural dan birokrasi. Mentalitas ndoro dan penguasa menular ke keluarga pejabat. Ingat keluarga pejabat namun gayanya kadang melebihi pejabat itu sendiri. Beda dengan negarawan,abdi negara, tentu akan berbeda sikapnya. Jangan heran orang berlomba-lomba mau jadi ini itu, namun tidak dibarengi dengan kualitas dan jati diri sebagai pemimpin. Berhenti pada kekuasaan semata.
Pelayanan yang Masih Buruk
Bagaimana pelayanan mau baik, jika pelayannya saja bermental juragan dan main perintah. Marah jika ditegur dan diberi nasihat. Bagaimana mau menjadi abdi negara jika mentalnya justru ngebos dan minta dilayani. Salah satu hal yang membuktikan mental ini adalah potong kompas, mental terabas, tidak suka diatur, mau menang sendiri, dan tidak taat azas. Mental ini yang membuat pelayanan menjadi buruk.
Perilaku Elit yang Buruk pula
Bagaimana bisa membaik negara ini, jika justru elit, tokoh populer, penguasa, pejabat malah perilakunya buruk. Menggunakan segala cara demi untung sendiri. Mau dilayani terus menerus, malas namun selalu minta fasilitas. Tidak taat aturan dan seenaknya sendiri dalam bersikap. Tidak menghargai bawahan dan orang yang dinilai di bawahnya.
Cerminan Bangsa
Apa yang ditampilkan di depan publik, di ranah umum, adalah cerminan bangsa ini. sangat memalukan. Menyelesaikan masalah dengan kekerasan hanya karena tersinggung. Merasa kaya, pejabat lagi, harusnya malu, ternyata masih barbar.
Lalin parah dan payah. Bagaimana jalanan di Indonesia, menampakkan kualitas bangsa ini. main serobot, balik arah seenaknya, menentang arus, umpatan dan gertakan, bukan hal yang luar biasa. Dalih pembenar karena panas, capek, dan sejenisnya membuat tidak beranjak menjadi baik.
Hukum bisaa seenak udele. Hal ini jamak terjadi. Kepastian hukum  tidak ada. Atas nama demokrasi bisa seenaknya sendiri. Merasa kaya dan pejabat bisa membeli hukum dan mengatur hukum. Gambaran buruk yang ditampilkan ke dunia internasional.
Adiliuhung itu mana?
Sikap saling menekan, saling menindas, saling mengeroyok, menggambarkan menggejala hari-hari ini. kebanggaan sebagai bangsa yang adiluhung itu masih jauh ari harapan, bahkan malah makin menjauh. Sikap menghargai dan menghormati sesama malah makin jauh dan seolah bukan bagian bangsa besar ini.
Agama dan Pendidikan mana?
Mana coba pendidikan bangsa yang dibanggakan itu, ketika dengan mudah bahasa kebun binatang, tangan melayang karena tersinggung, umpatan dan hujatan berseliweran. Orang berpendidikan dan beragama tentu tidak demikian. Itu hanya perilaku biadab, atau tidak beradab. Orang berpendidikan dan beragama akan mengedepankan solusi, pemikaran, perasaan, bukan kekerasan dan emosi tak terkendali. Apa beda dengan hewan yang tidak punya akal budi?
Penegakan hukum mendesak
Penyelesaian sepihak, mengalah, minta maaf, merasa tersinggung, tidak pantas, itu semua subyektif. Maaf, pengampunan, dan rekonsiliasi bukan meniadakan masalah apalagi jika itu adalah melanggar hukum. Selama ini selalu saja yang menjadi korban, pihak yang lemah, "dipaksa" untuk memaafkan, berdamai, dengan berbagai jalan. Hal ini harus diakhiri agar tidak menjadi kebiasaan yang makin merajalela.
Mental lari dari tanggung jawab semata prosedur. Dalih emosi, minta maaf, dan berjanji ini itu, semua usai. Â Hal ini perlu diubah, berikan pula hukuman di tempat kerja, bukan malah promosi dan seolah tidak ada apa-apa. Â Hal ini sangat parah karena orang terutama pejabat telah mati hati nuraninya.
Ciptakan budaya malu, bukan budaya takut dan berani. Malu melanggar hukum, malu jika menyakiti orang lain, malu jika berbaut curang. Selama ini semua itu tidak ada dalam benak pejabat dan elit bangsa ini. perkuat urat malu bagi pesohor negeri ini, siapapun mereka, rakyat sudah banyak prihatin, masih saja ditindas karena tidak punya malu elit bangsa ini.
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI