Kepemimpinan Nasional, antara Jabatan atau Pilihan
Stephen R. Covey dalam bukunya, THE 8TH HABIT,menyebutkan kepemimpinan itu bisa sebagai jabatan yang dengan istilah lain sebagai kekuasaan formal, atau sebagai pilihan dengan istilah, keibawaan moral. Meminjam terminologi dan ciri-ciri tersebut, saya mengistilahkan jabatan itu sebagai tujuan, jika pilihan itu adalah sarana. Kepemimpinan itu sebagai tujuan atau alat.
Beberapa hal yang membedakan kepemimpinan sebagai jabatan atau pilihan adalah sebagai berikut:
Pertama. Kepemimpinan jika itu jabatan adalah, kekuatan menentukan kebenaran,pada kepemimpinan sebagai pilihan, kebenaran menentukan kekuatan.Kita saksikan dalam kepemimpinan  nasional kita, dari banyak level masih berkutat pada kebenaran itu tergantung kekuaran.  Tidak heran atas nama demokrasi namun menciderai demokrasi itu sendiri dengan  membeli  suara, mengerahkan massa untuk memaksakan kehendak.  Jelas orientasi adalah jabatan sebagai tujuan.
Kedua, jabatan menekankan loyalitasdi atas integritas, pada pilihan, integritas adalah loyalitas.Kita saksikan bersama bagaimana loyalitas itu segalanya, padahal integritasnya sama sekali tidak ada. Apa beda dengan preman jalanan, benar salah ada temanku, benar salah adalah kelompokku.
Ketiga, jabatan, salah adalah ketika tertangkap basah,jika kepemimpinan adalah pilihan, salah adalah melakukan kesalahan.Kita paham betul bagaimana pemimpin kita dari segala lini hanya merasa bersalah ketika OTT, begitu saja masih sering ngeles,dan malah memfitna Tuhan atau pihak lain.
Keempat, jabatan , elit hanya bisa berbicara dan berwacana tanpa melakukan,kepemimpinan sebagai pilihan, menjadi contoh atau panutan, dan bukan semata pengritik.Jelas apa yang ada dalam kepemimpinan bangsa ini, bagaimana ucapan dan perbuatan jauh bertolak belakang. Belum lagi soal kenyinyiran,jauh lebih banyak daripada yang melakukan tugasnya dengan lebih baik.
Kelima, citra adalah segalanya,sisi lain, benar-benar menjadi bukan semata terlihat.Apa yang ada itu semata pencitraan, penggambaran semata, demi popularitas, bisa dengan menyalahkan pihak lain, atau memutarbalikan fakta. Tidak ada susah mendapatkan model kepemimpinan pencitraan di negeri ini. Susah ketika mencari pemimpin yang benar-benar melakukan.
Keenam, ketika ada persoalan, pemimpin akan mengatakan, tidak ada yang memberi tahu saya,berbeda dengan kepemimpinan sebagai pilihan, menanyakan dan membuat rekomendasi.Berapa banyak pemimpin bangsa ini yang hanya ngeles,menyatakan dan berlindung dalam koridor sesuai prosedur, meskipun itu melukai banyak pihak.
Pejabat, pimpinan, dan organisasi bangsa ini termasuk parpol tentu dan pastilah telah mengenal buku kepemimpinan sekaliber Stephen  R. Covey. Mengapa melakukan apa yang sebaliknya dari rekomendasi kepemimpinan era kekinian ini?
Satu, mereka tidak mampu mencerna apa yang dikatakan, semata membaca, mungkin seminar, dan berdiskusi, namun memang tidak paham apalagi untuk mengaplikasikannya. Tentu tidak banyak kalau level ini. Sangat naif jika elit apalagi tidak paham akan hal ini.
Dua, mereka tidak peduli, karena toh menguntungkan dengan model kepemimpinan yang semata jabatan. Buat apa capek-capek menjadi pemimpin jika toh tidak perlu susah-susah bisa menjadi pejabat. Sebagian besar pejabat bangsa ini pada bagian ini. Ogah susah, begitu saja cukup. Bersama-sama kita saksikan bagaimana selevel profesor, doktor, pemimpin tertinggi negeri pun, memilih semata kepemimpinan itu semata jabatan. Contoh, jelas-jelas tertangkap tangan karena maling, eh masih merasa tidak bersalah dan malah menyalahkan pihak lain. Atau  pimpinan yang jelas mengatakan apa yang tidak dia lakukan. Level pencitraan, level merasa bersalah saja di bawah  standar tertangkap, masih menyalahkan pihak lain. Belum lagi, soal pemaksaan kebenaran dan kehendak dengan kekuatan.
Tiga, atau memang sama sekali tidak tahu bahwa kualitas mereka serendah itu. Ini bisa saja, karena memang level kepemimpinan bangsa ini rendah karena semangat belajarnya lemah dan kurang membaca serta wawasan.
Benar dan sepakat bahwa soal kepemimpinan bukan masalah terori dan istilah, namun ciri-ciri yang ada sangat menunjukkan kualitas kepemimpinan negeri ini. Kepemimpinan tidak semata dilahirkan, namun juga perlu pelatihan, melakukan dengan kesungguhan, dan adanya pembaharuan terus menerus. Pembaharuan bisa melalui bacaan, seminar, diskusi, dan sebagainya. Bagaimana mau maju, jika membaca saja sudah enggan, mendengar ceramah dan seminar tidur, bertanya malu, apalagi menggali dan menemukan teori baru.
Bangsa ini tidak kurang pemimpin yang cerdas, pintar, modern, namun sangat kurang pemimpin yang menjalankan pilihan untuk menjadi pemimpin. Lebih banyak yang mengejar jabatan, apa yang terjadi? Ketika jabatan teraih, ya sudah mau apa lagi. Era modern, kepemimpinan adalah alat atau sarana untuk membawa orang menjadi lebih berkualitas. Kepemimpinan tidak serta merta adalah presiden, gubernur, menteri, anggota dewan, namun kita semua.
Bagaimana kita memimpin diri ini untuk menjadi.... Apabila sebagian besar warga bangsa ini sadar akan hal ini, bukan tidak mungkin bangsa ini menjadi bangsa besar yang disegani bangsa lain, bukan karena masa lalu atau kebesaran sejarah saja.
Salam
Inspirasi: The 8 th Habit, Stephen R. Covey
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H