Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

OTT, THR, dan Praduga Bersalah Relasi Eksekutif dan Legislatif

20 Juni 2017   19:10 Diperbarui: 21 Juni 2017   15:12 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Profisiat untuk KPK yang lagi dan lagi menangkap basah dan menangkap tangan maling berdasi. Semua dalih, pembelaan yang menyatakan sebagai recehan, kriminalisasi, atau sejenisnya, yang jelas faktanya adalah tangkap basah. Maling yang tertangkap warga saja diarak keliling kalau masih mujur, kalau buntung ya mati sia-sia. Menarik apa yang dialami pengemudi taksi online, yang membawa penumpang di bandara, dipaksa untuk membuka pakaian, menyalami satu persatu pengemudi taksi tradisional, menciumi patung, menyanyikan lagu Garuda Pancasila, push uplagi, dan ditarik pula uang "materei" seratus ribu rupiah.

OTT yang berantai.

Paling tidak selama Ramadhan ini ada beberapa kejadian tangkap basah  maling berdasi yang berkaitan dengan legeslatif dan juga eksekutif.  Jadi ingat bagaimana kala itu ketua SSK Migas yang melakukan "upeti" kepada rekanan di dewan komisi yang merupakan parner kerja sebagai uang THR. Ini kog mirip, waktu begini. Meskipun ada juga fakta yang baru diungkap bahwa ada rutin. Uang upeti tiga bulanan. Apa yang bisa dilihat, bahwa hal-hal itu rutin dilakukan oleh pejabat baik daerah atau pusat agar dewan menjadi "jinak" dan diam. Miris adalah anak, cucu, dan keluarga diberi pakaian baru, mainan baru, dan bersenang-senang di hari Fitri dengan dana malingan. Menodai hari Fitri yang sejati sebenarnya.

Dewan yang memang tidak memegang kendali keuangan tentu akan mengusahakan dan mengupayakan bagaimana caranya mendapatkan uang. Salah satunya menekan kubu sebelah ekskutif dengan berbagai cara, soal anggaran yang dipersulit, menggelembungkan anggaran, atau meminta "upeti" entah bagaimana caranya yang penting bisa bersenang-senang di hari raya (apa malah bukan menodai ibadah jika demikian? Yang terjadi pihak lain yang harus menanggung itu semua, bisa BUMN, bisa pihak swasta, dan pokoknya ada uang. Apa artinya? Jelas akan ada yang dipangkas anggarannya. Kalau kontraktor, jelas kualitas bangunannya turun, kalau bagian pengadaan alat, kualitas alat jelas berkurang.

Apakah ini Baru?

Jelas saja tidak, bagaimana KPK mengatakan ada indikasi setoran tiga bulannan. Sudah rutin sekian lama dan menjaid kebiasaan. Apalagi menjelang hari raya, di mana pengeluaran tentu tinggi. Tidak baru juga, karena dulu SSK Migas telah terbukti dua pihak antara eksekutif dan legeslatif yang berasal dari partai yang sama, masuk bui bersama.  Penyakit lama yang sudah kebal untuk diberi obat yang biasa, hukuman mati, pemiskinan, dan mempermalukan, ingat kisah pengemudi taksi di bandara.

Prasangka Bersalah DPR/D

Masalah prasangka tak bersalah sering menjadi pembenar untuk lari dari kejaran hukum. Prasang bersalah layak disematkan dalam kaitannya dengan DPR/D yang diam, tenang, dan nyaman, namun pembangunan tidak berjalan. Ada apa-apa di sana. Lihat bagaimana apa pernah ada perseteruan dewan di Bengkulu, Banten, Jatim, Mojokerto, namun nyatanya kinerja eksekutif juga jeblok namun mulus-mulus saja. Ketika ketangkap tangan seperti ini, semua terhenyak, padahal jelas saja kelihatan, uang itu ke mana? Susah ketika hukum bisa dikuasai elit, kekuasaan dengan tekanan dan pengerahan massa bisa mengubah keadaan.

Politik Beaya Tinggi dan Parpol Biang Keladinya

Suka atau tidak, rela atau tidak, parpol menjadi biang keladi kerusakan hidup berbangsa dan bernegara. Karen malas menjalankan kaderisasi, akhirnya mengakomodasi pemodal untuk menjadi calon anggota dewan ataupun pimpinan daerah. Malas jelas menjadi panglima, daripada repot-repot beli suara. Jangan kaget, di desa pun sudah masuk pragmatisme ini, membeli suara separo kali x rupiah jadi kades.Penyakit akut ini sudah menjangkiti bangsa ini. jadi anggota dewan itu butuh berapa, pimda berapa, semua takarannya uang, bukan kinerja dan prestasi. Uang yang menjadi andalan. Akhirnya cari pula balik modal, uang lagi, dari mana? Ya suap, penggelembungan anggaran, atau upeti, dan maling sejenisnya.

Gaya hidup, sederhana itu memalukan, kaya itu kebanggaan.Sering pula lupa asalnya dari mana bukan menjadi pertimbangan. Maling pun dilakukan asal bisa kaya, maling tidak malu karena toh penampilan mewah telah meniadakan keadaan yang ada. Penghormatan akan materi bukan kinerja, prestasi, dan capaian.  Jalan pintas lebih menguntungkan dan menyenangkan.

Apa yang bisa dilakukan untuk perbaikan? Pembuktian terbalik sangat mendesak untuk dilakukan. Sangat terlambat sebenarnya, sehingga banyak maling resisten untuk menolak, apalagi di dewan lebih banyak maling daripada yang bekerja bener.

Pemiskinan. Selama ini maling berdasi bisa membayar pengacara mahal, yang bisa meneror hakim dan jaksa, sipir juga, akhirnya hukuman ringan, dan masih kaya juga. Karena gaya hidup kaya itu bangga buat miskin biar menderita.

Hukuman berat hingga mati, ini sudah sangat darurat, jangan lagi opini sesat yang dikemukakan, buat jera dengan hukuman setimpal, tambah denda yang sangat tinggi, dan remisi hilangkan. Selama ini hanya main-main peradilan dan hukuman maling jenis ini.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun