Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Agun: KPK Kerjanya Selalu Membuat Gaduh

14 Juni 2017   12:59 Diperbarui: 14 Juni 2017   16:32 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Agun: KPK Kerjanya Selalu Membuat Gaduh

Apa yang disampaikan ketua pansus hak angket KPK yang menjawab kinerja KPK selalu gaduh karena jubir KPK mengatakan bisa saja KPK menelusuri penggunaan anggaran hak angket yang melanggar hukum. Menarik karena adanya perang urat syaraf di antara keduanya, yang memang selalu tidak pernah akur. Mana bisa akur ketika satunya diindikasikan sarang penyamun sedang pihak lain adalah pemberantas penyamun.

Kronologis KPK gaduh. Siapa sebenarnya yang gaduh ini dewan atau KPK? Kisah hak angket ini lahir karena KPK bersikukuh untuk tidak membuka rekaman pemeriksaan salah satu anggota dewan yang pernah mengaku kalau mendapatkan tekanan dari anggota dewan lain soal maling di dalam anggaran KTP-El. Mereka merasa paling hebat di dunia ini memaksa KPK membuka rekaman, yang merupakan kewenangan KPK, dan meskipun telah dibantah oleh yang bersangkutan, ada penyabutan kesaksian, paling tidak demikian yang bisa dipahami, di antara sengkarut hukum, politik, dan ketaatan azas yang saling berkait. Dapat dilihat dalam beberapa fakta sumber atau biang keributan, apakah KPK atau dewan.

Pertama, jika dewan tidak merasa suci dan bersih, sehingga merasa benar, tidak perlu memaksakan diri membuka rekaman. Biarkan proses hukum jangan proses politikyang berjalan. Dengan demikian, dewan bekerja bukan malah intervensi dan KPK pun bekerja. Toh selama ini yang diributkan sering bukan esensi, namun hanya masalah prosedur atau hal remeh temeh. Sering pula tidak ada tindak lanjutan kog.

Kedua, rekaman yang diklaim ada oleh KPK dan oleh dewan diklaim tidak ada, merupakan hal yang sangat memalukan sebenarnya di dunia yang serba modern, digital, dan semua bisa melihat rekam jejak. Bandingkan mana bisa dipercaya dewan atau KPK. Dalih KPK sering salah, bisa dibuktikan kalah hanya beberapa kali di pengadilan, dan itupun bisa dikaji alasan yuridis ataupun aroma suap jelas. Apa yang dikatakan, dilakukan, dan hasil dari dewan lebih banyak bohong, gagal, dan tidak ada esensisnya. Artinya siapa yang gaduh jelas saja.

Ketiga, aneh dan ajaib ketika ketua hak angket, yang mengatakan KPK berbuat gaduh itu juga disebut ikut maling. Hanya di Indonesia di dunia ini dikaitkan dengan maling bisa menjadi pengawal, pengawas, dan bahkan akan mencari kebenaran lembaga yang mau menangkap maling. Dalih tidak ada konflik kepentingan akan dapat dipastikan keras-keras, artinya pun sama saja. Kapan budaya malu itu tercipta sehingga disebut dalam kaitan dengan maling itu sudah malu, bukan malah berdalih dan mencari-cari kesalahan pihak yang akan membuktikan maling atau tidak.

Keempat, cara bertahan diri berlebihan model maling. Polisi dan penyidik KPK tentu paham. Siapa teriak paling keras justru itu yang paling berpotensi menjadi pelaku. Mengapa harus teriak ini itu, hadapi saja, dan kalau memang tidak maling gugat KPK dan selesai, sekalian KPK bubarkan, mengapa harus takut?

Kelima, buktikan ke mana aliran uang dari mega proyek maling itu. Mana PPATK, mana BPK, jangan hanya diam. Atau kalau memang anggota dewan itu suci tak tercela buktikan hasil uangnya dari mana saja. Gampang, sepele, dan tidak gaduh. Tidak susah tapi namanya juga pejabat korup, bisa susah mengapa dibuat gampang. Jelas karti KTP-el kalah kualitas dengan kartu atm,kartu kredit, bahkan kartu OSIS, jelas ada yang maling. Tunjukkan itu ke mana.

Ingat rakyat sudah muak melihat tingkah polah dewan yang miskin prestasi, malah kontroversi demi kontroversi yang ada. Tidak usah teriak tuduh sana sani, buktikan uangnya dari mana kog punya kemewahan yang luar biasa. Ini bukan soal tidak boleh kaya, namun dari mana kayanya?

Apa penyebab konflik kepentingan terus menerus seperti ini?

Satu, jelas taat azas sangat lemah. Janji sumpah setia dan antikorupsi, eh maling pun senyam senyum, kalah hati nuraninya dengan maling susu bayi, pakaian, atau jemuran. Mereka menunduk dan menangis, maling berdasi ini mana pernah ada yang menangis, minimal malu, padahal tanda tangan tidak korupsi, pejabat bersih, mbelgedhes. Sama sekali tidak ada, bahkan melanggar asas pun santai saja.

Dua, politik mahal. Malah bekerja mau enaknya saja. Akhirnya membeli suara. Karena tidak mungkin uangnya sendiri mampu mewujudkannya, ya maling uang yang ada. Apa akibatnya sangat ngeri, mereka sama sekali tidak memikirkannya.

Tiga, rakyat masih mudah dibeli dan dikelabui dengan pakaian sok alim, pakai lambang atau istilah tertentu pasti seperti itu hatinya. Padahal sama sekali tidak. Hal ini yang dimanfaatkan bandit demokrasi untuk kesenangan mereka sendiri. Hal ini yang perlu dibenahi, dibangun, dan dikembangkan. Katakan tidak memilih maling berdasi.

Empat, hukum yang masih terbeli. Ini bukan rahasia umum, kalau hukum sangat mudah dibeli.  Di sel pun masih bisa bermewah-mewah.

Pemiskinan maling berdasi mendesak dilakukan selain pembuktian terbalik. Dengan demikian, penyakit akut ini usai sudah dari negeri ini.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun