Politikus Beri Kekuasaan, Iman Datang Penganiayaan, Sebentuk Ujian Kehidupan
Beberapa kali iklan film Silnce,hadir di teater, di ruang tunggu pun layar menyajikan yang sama, memang hanya di-banner,tidak ada. Sekian lama iklan tayang, namun tidak kunjung hadir, ternyata ada novelnya. Novel yang berkisah atas karya misi di Jepang tahun 1600-an. Berdasar kisah nyata, bagaimana tiga murid yang berkehendak kuat mencari sang guru (magister), yang lebih pas sebenarnya kepala sekolah.
Desas-desus yang mereka dengar, sang magister yang melakukan karya misi di Jepang dan menjadi provinsial, atau setara dengan gubernur yang membawahi biarawan, bukan teritori, telah meninggalkan imannya karena tidak kuat menahan derita atas penyiksaan fisik yang ia terima.
Dari ketiganya, Pastor Marta, Garrpe, dan Rodriguez hanya Garrpe dan Rodriguez yang mampu menginjakkan kaki di Jepang untuk menemukan Ferreira Sang Magister yang menurut desas-desus telah menyangkal imannya. Marta tidak bisa melanjutkan perjalanannya memasuki Jepang karena sakit dan tinggal di Macau. Dari Macau, kedua sahabat yang sangat lekat akan pengajaran Ferreira dengan kelembutannya, kewibaannya di dalam mengajar, dan pendekatan terhadap siswa yang membuat mereka ingin mengetahui kebenaran berita itu. Mereka terombang-ambing di dalam perahu yang harus sangat hati-hati karena Jepang melarang semua kegiatan Kekristenan termasuk pastor asing.
Hukum yang paling ringan adalah penjara, jika mau menyangkal imannya, dengan melakukan fumie,menginjak gambar muka Yesus, atau juga meludahi setelahnya, seperti kehendak para petinggi yang melakukan sidang. Jika lebih keras, bisa pancung, salib di pantai dengan air pasang surut se leher jika pas pasang, sehingga orang Kristen akan mati karena sakit, takut, tegang, dan tentu kelelahan. Satu yang ditemukan Inoue,sang penguasa wilayah, paling keji dan kejam adalah orang diikat hingga dada, dan digantung dengan kepala di bawah dan dimasukkan dalam sebuah lobang, satu tangan bebas untuk menyatakan menyerah, dan di belakang telinga, disayat agar drah menetes perlahan. Konon ini yang membuat Ferreira hanya bertahan enam jam dan kemudian menjadi pegawai magistrat dan menyangkal imannya.
Garrpe meninggal sebagai martir untuk menyelamatkan jemaatnya yang ditenggelamkan dengan dibungkus kasur jerami ke dalam laut, ia kejar dan akhirnya bersama-sama meninggal di depan mata Rodrigues. Rodrigues dipertemukan dengan Ferreira dan mendapatkan hukuman batin, bukan fisik sehingga ia tidak berdaya. Ia dipenjara dengan sel yang sangat gelap dan mendengarkan suara dengkuran, yang sebenarnya adalah suara jemaatnya yang sedang disiksa dengan digantung di dalam lobang. Dengkur itu karena mulut dan hidungnya penuh darah yang mengalir. Gadis paling kuat di dalam tahanan gantung lobang itu 14 hari baru meninggal.
Ferreira yang mendapatkan nama Jepang dan Buddha Sawano Chuan. Memang telah menyangkal imannya dan menjadi pegawai gubernuran yang menulis mengenai Kekristenan yang tidak cocok dengan Jepang. Ia membuat ilustrasi bahwa Tuhan Allah yang diimani orang Kristen telah menjadi berbeda sebagaimana yang diimani di Jepang, awal kedatangannya. Saat ia datang, Jepang merupakan surga bagi tumbuh kembang Kekristenan, banyak gedung gereja, bahkan seminari dibangun. Petinggi negeri dan daerah banyak yang menjadi Kristen, yang ternyata motivasinya demi perdagangan dengan Portugis lancar. Sawano menggambarkan Allah di Jepang seperti kupu-kupu yang telah dihisap lebah bukan soal inti, namun hanya wadah atau nama Allah saja, soal esensinya mereka ubah seperti budaya dan agama mereka.
Silence,atau hening, adalah sikap Allah yang dihayati oleh Rodrigues yang menyaksikan siksa demi siksa diri dan jemaatnya. Allah yang diam saja, diperparah bujukan Sawano, akhirnya ia merasa harus menginjak wajah Kristus agar jemaat atau umatnya tidak lagi mendapatkan siksaan. Pastor Rodrigues yang idealis itu oleh anak-anak dipanggil Paulus Murtad atau Petrus Murtad sambil melempari rumahnya dengan batu.
Sangat konkret bagaimana menguji iman adalah dengan penganiayaan. Ferreira mengalami dua masa yang membuatnya memiliki keputusan demikian. ia merasakan jaya dan kemudahan, bahkan kemewahan di tanah misi. Ini bukan menghakimi pilihan Ferreira sebagaimana disampaikan muridnya, Rodrigues, namun bagaimana tidak mudah mempertahankan iman di dalam kondisi teraniaya, terasing, dan bahkan nyawa sering tidak jelas kapan akan melayang. Sangat tidak mudah lagi, jika menghayati Allah yang hanya diam. Novel ini tidak memberikan kesimpulan bagaimana Ferreira dan Rodrigues sebenarnya. Hanya bahwa dengan jelas Rodrigues menginjak gambar muka Yesus, dan lainnya tidak dikisahkan.
Kekuasaan juga menjadi batu uji bagi seorang politikus atau negarawan. Berilah ia kekuasaan jika bisa menjalankan dengan baik, bijak, dan layak dipercaya, ia memang negarawan, jika jatuh dan goyah pada kenyamanan kursi, ia masih politikus yang masih perlu dimurnikan lagi.
Penganiayaan bagi iman tidak beda dengan empuknya kekuasaan di dalam hidup politik. Kualitasnya bisa dilihat di sana.
Inspirasi: Susaku Endo, Silence
Jayalah Indonesia
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H