[Ngawur] Adakah Pejabat Tinggi Negeri ini Dulu Pernah Jadi Pembunuh?
Duka lagi dari dunia pendidikan, kedinasan, dan asrama. Seorang taruna Akpol meninggal karena kebiadaban sesama mahasiswa calon petinggi negeri ini. membaca artikel berita pertama langsung jadi ingat bagaimana seorang calon pemimpin mengidupi harian mereka dengan kekerasan.
Sebuah tanya, apakah petinggi negeri ini yang dulu dari Akabri, STAN, STPDN, atau pun Akpol dan yang lainnya terlibat dalam pembunuhan dan sekarang menjabat jabatan penting di instansi masing-masing? Bisa di jajaran Kementrian Dalam Negeri, TNI, atau Polri, juga Kementrian Keuangan, dan lembaga sejenis.
Bandingkan dengan tawuran anak sekolah menengah, mereka jauh lebih jantan, berhadapan muka, setara, dan sama-sama bersenjata, atau sama-sama tangan kosong, kalau yang ini, satu pihak yang berkuasa dan satunya pihak yang dianiaya, tanpa perlawanan, selain rintihan, jika masih boleh. Dan lagi mereka berpotensi jadi pejabat tinggi negeri.
Adakah yang menjabat jabatan tinggi? Sangat mungkin. Mengerikannya, adalah jika mereka tertawa di atas derita rekannya yang masuk penjara, dipecat, dimusuhi keluarga, dan bisa saja jadi bandit atau teroris. Bisa saja mereka menyuap, mengintimidasi, dan mengatakan kalau mereka bersih dan orang lainnya yang menderita. Harapannya tidak ada pejabat negeri yang demikian, selain mereka yang berkualitas intelektualnya juga sikap mental dan kepribadian yang jempolan.
Pengawasan,
Lucu dan aneh sebenarnya jika pengawas tidak tahu ada “pergerakan” sekian mahasiswa tanpa diketahui, mosok zaman modern begini belum ada CCTV, atau pengawasan bentuk lainnya. Sangat lucu, ironis, dan miris kalau selalu seperti itu. Pengawasan yang sangat lemah dan tidak seharusnya demikian. Ini bukan soal pengawasan namun memang tabiat yang suka kekerasan, senioritas, dan kekuasaan yang salah makna.
Kekerasan bukan jawaban atas kedisiplinan
Keteladanan jauh lebih penting dan mendasar daripada pemaksaan dan kekerasan. Ini manusia bukan hewan yang perlu diajar dengan pukulan dan hajaran. Manusia bisa berpikir dan merasa. Bagaimana jika keteladanan tidak ada namun malah hanya tuntutan dan tuntuan. Miris lagi ini mahasiswa pilihan, dididik untuk jadi petinggi negeri, pemimpin masa depan, dan juga kalangan ilmiah. Selalu saja terulang, dengan dalih yang identik, pendisiplinan, ada kesalahan.
Keteladanan.
Bagaimana kaum muda termasuk mahasiswa bisa belajar kebaikan, ketika elit negeri bertikai berebut kuasa. Jangan mengatakan berpelukan, cipika cipiki, atau senyum di depan media, namun toh jelas terbaca mereka saling jegal, saling sikat, saling sikut, dan itu makin terbuka dan vulgar. Dari mana mereka belajar disiplin, kerjasama, dan saling menghormati jika demikian yang disaksikan?