Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kicauan Buni Yani dan Relevansinya dengan Bulan Puasa

9 Mei 2017   18:09 Diperbarui: 9 Mei 2017   18:15 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kicauan Buni Yani dan Relevansinya

Artikel ini bukan membahasa Buni Yani dan Ahok yang mau nyinyir lebih baik menyingkir. Kali ini akan mengupas kicauan yang konon milik Buni Yani yang katanya kini sudah hilang. Di dalam statusnya ia mengatakan bangsa ini merupakan bangsa dengan umat Muslim terbesar di dunia, dan apapun yang berbau Islam akan laris manis, kira-kira demikian yang ia katakan.

Puasa dan iklan bernuansa Ramadan

Ramadan masih lebih dari dua minggu, namun media elektronik sudah diwarnai oleh nuansa itu. Sama sekali tidak salah dan sah-sah saja. Apa yang patut dicermati adalah, apa yang ada di sana sejatinya lepas dari agama, semata-mata soal bisnis, ekonomis, dan iklan yang menggunakan emosi massa semata. Esensi puasa, ingat ini bukan soal bukan pemeluk atau pemeluk, namun soal pemanfaatan yang kadang berlebihan, mengekang hawa nafsu, bukan malah memprovokasi nafsu. Iklan minuman, makanan, dan tidak kalah gencarnya obat, serta penyegar mulut berlomba-lomba menyematkan puasa atau Ramadhan.

Ramadan dan acara televisi

Tidak jauh beranjak juga acara televisi, meskipun mengupas mengenai hal ihwal Ramadhan, namun tidak jarang esensinya juga lepas, soal berpakaian, soal materi yang tidak juga beranjak. Bagaimana tidak ketika ketamakan, berebut  pasangan atau harta, berpikir buruk atas pihak lain, kecemburuan dengan berbagai varian yang didramatisir dan menjual derita tidak berkurang. Bagaimana ini mau dibenahi karena di sisi lain, ekonomi dan uang yang begitu besar di sana.

Sinetron dan film Ramadhan

Hanya kemasannya, pakaian, atau kegiatan seperti tarawih, membangunkan untuk sahur, namun esensi ceritanya masih belum bernajak. Perselisihan yang berkepanjangan atas dasar hal yang sepele, yang itu-itu saja, cemburu, iri hati, dan sejenisnya yang tidak jauh dari si miskin dan kaya, keculasan dalam menggapai keinginan.

Tiba-tiba religius

Fenomena yang tidak aneh dan luar biasa, benar kata Buni Yani yang sangat menjual. Banyak artis yang emndadak religius dan agamis. Fasih mengatakan hal-hal agama, padahal sebelumnya juga tidak begitu. Demikian pun para pejabat, dewan, dan birokrat yang biasanya sangat culas, tiba-tiba aktif hidup beragama, safari Ramadhan, tarawih keliling, dan sejenisnya. Ini semua baik, jika memang demikian sejatinya, bukan usai Lebaran, lebar,selesai juga religiusnya dan balik menjadi manusia lama yang tamak, rakus, dan begitu-begitu saja. Kelihatannya juga akan ada kelompok yang merasa lebih sahih dan mendapatkan legitimasi untuk menilai pihak lain sebagai salah dan perlu dibasmi.

Peredaran barang kadaluarsa

Miris di tengah waktu untuk beribadah malah marak beredar makanan dan minuman sudah lewat masa edarnya. Jangan kaget kalau pemberitaan akan dipenuhi dengan pelaksanaan operasi makanan dan minuma kadaluarsa. Lagi-lagi soal ekonomi dan bisnis melupakan moralitas. Untung banyak sedang konsumen rugi bukan menjadi pertimbangan. Hal ini ada dalam ranah kesadaran, hal ini bukan semata intelektual, namun hati nurani. Bagaimana beribadah sekaligus malah membuat kekacaan dengan menggunakan momentum demi keuntungan sendiri.

Ekonomi, perubahan sikap, acara itu tidak salah, dan malah baik, sepanjang itu membantu, mengarahkan, dan membawa ibadah makin bermakna. Sangat disayangkan jika agama hanya menjadi kedok dan dipakai untuk menjual brand,merk, nama diri seperti para politikus itu, atau menarik peminat iklan untuk acara televisi. Perubahan perilaku menjaid manusia baru itu terus, bukan hanya sesaat dan di bulan puasa saja. Coba jika para pejabat dan politikus itu berhenti maling selamanya karena melampuai bulan puasa, betapa kayanya negeri ini. Iklan yang  menggelorakan semangat mati raga, bela rasa, dan kemauan berbagi dan mau membantu sesama, tentu bukan semata di bulan puasa saja. Jika iklan itu bisa menggerakan hati untuk menjadi manusia baru, yang peduli pada kebutuhan sesama, mau membagi atas kepemilikan, atau mengulurkan tangan bagi yang membutuhkan tentu sangat membahagiakan.

Dunia bisnis tidak bisa dilepaskan dari untung dan kapital yang menjadi pertimbangan, namun tentu bukan itu semata-mata bukan?  Ada etika untuk membangun bisnis yang bermartabat. Ada pihak yang perlu diperhatikan keberadaannya. Konsumen bukan semata menjadi obyek penjualan semata, namun juga menjadi subyek pembelajaran. Jika hal ini sudah menjadi bagian utuh bisnis, tentu bangsa ini menjadi bangsa yang jauh lebih baik. Mafia perdagangan yang memanfaatkan momentum bulan puasa tidak akan sebanyak selama ini.

Sikap kritis menjadi penting, sehingga sikap konsumeris bisa ditekan sehingga tidak dimainkan emosinya oleh iklan, acara media, dan sikap petinggi negeri atau selebritas untuk terpengaruh. Mengaduk-aduk emosi untuk membeli ini itu, kadang memaksakan diri dengan berlebihan, malah membuang makanan dan minuman karena tidak habis dikonsumsi tentu sangat disayangkan. Bagi pelaku bisnis tidak menjadi masalah karena toh sudah dibeli.

Jayalah Indonesia

Salam

Sumber inspirasi

http://www.wartabali.net/2017/05/geger-twit-jahat-buni-yani-terkuak-akun.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun