Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jenderal Tito, Sosok di Balik Jokowi Mengenai Harga, Model Orba yang Efektif

7 Mei 2017   08:29 Diperbarui: 7 Mei 2017   09:53 3216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jenderal Tito, Sosok di Balik Jokowi, Mengenai Harga, Model Orba yang Efektif

Menjelang hari raya, biasanya harga merangkak naik, kadang bahkan melompat tidak terkira. Semua paham, maklum, dan kadang berlebihan menganggap itu biasa. Sebenarnya bukan hal yang biasa ketika permintaan tinggi pun persediaan tidak kurang, harga tidak perlu naik. Selama ini para pebisnis abai akan moralitas, salah satu penyebab kehancuran ala Gandhi, yang tersaji. Para spekulan menimbun persediaan dan kemudian memainkan harga semau-maunya. Masyarakat memiliki prinsip toh sesekali  tidak apa-apa, diperparah oleh pemerintah yang tidak mau kerja keras.

Era Orba, militer sangat kental menguasai segala lini kehidupan. Konon, gejolak harga tidak pernah terjadi karena orang kepercayaan Pak Harto akan segera menghubungi pangdam setempat, untuk mengeremlaju harga itu, apapun caranya. Harga pun tidak akan terlalu lama mencuat, keadaan aman dan terkendali. Atas petunjuk Bapak Presiden, ada bawahan yang sigap melaksanakan, dan ada pula pejabat yang melakukan, bukan hanya berwacana dan akhirnya impor.

Pola yang sama dengan pendekatan yang tidak jauh berbeda kali ini dilakukan. Jenderal Tito yang memang gesit langsung merespons keinginan presiden tidak akan ada lagi gejolak harga secara berlebihan, menjelang bulan penuh “permainan” harga ini. Polisi yang memiliki peran. Kapolri mengatakan akan mengganti ditreskrimsus, jika di wilayah itu ada gejolak harga, pejabatnya diam saja. “Akan saya ganti dan cari yang lebih cepat dan tegas.”

Peran pemerintah ada di sana.

Siapapun pejabatnya, jika hanya mencari enaknya, tanpa mau berkorban dengan bertindak tegas, keras, dan cepat, hanya akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Selama ini gejolak harga hanya diatasi dengan import, dan di sanalah para spekulan, importir jahat, dan para pebisnis abai moral berbicara. Pendekatan diganti, sepanjang persediaan cukup, tidak ada alasan untuk menaikan harga. Peran pemerintah jelas, ada data soal kebutuhan, persediaan, dan distributor serta distribusi yang jelas. Jika demikian, harga bisa dipantau terus, masalah ada di mana.

Pebisnis abai moral

Selama ini pebisnis yang menentukan harga, jika demikian buat ada pemerintah? Rakyat bukan hanya menjadi sapi perang pedagang yang memang dasarnya encari untung, namun bukan berarti bahwa keuntungannya kelewatan dan sama sekali tidak berpikir soal kebutuhan masyarakat juga. Tidak heran yang kaya makin kaya karena bisa menggerogoti kepemilikan rakyat yang terbatas itupun dengan “perlindungan” negara.

Permainan harga

Harga bisa dimain-mainkan karena pemodal, mafia, bisa memborong semua persediaan pasar di suatu waktu dan dijual ketika keadaan mendesak. Di mana peran pemerintah jika demikian? mengapa bisa terjadi?

Pebisnis sekaligus pejabat

Ironisnya adalah di sini, pengusaha yang berprofesi ganda menjadi juga pejabat dan anggota dewan yang bisa membuat aturan perundang-undangan yang sangat menguntungkan kepentingan mereka dan tidak peduli akan keberadaan masyarakat. Tidak ada  yang salah pengusaha menjadi pejabat sepanjang mereka memegang asas dan juga etik di bidang yang ia geluti dengan benar. Bagaimana bisa ketika usaha pun tipu sana tipu sini, apalagi memiliki kekuasaan dan kesempatan lebih luas.

Pendidikan dan agama

Semata ritual dan menghapal, menjadikan bangsa ini miskin moral, miskin tatanan kebersamaan. Keteladanan dari pusat hingga terkecil juga demikian. pendidikan menghasilkan pribadi penghapal, jadi asal sesuai  prosedur sudah, soal benar atau salah bukan pertimbangan, di sinilah moral, etika, dan nurani terlibat. Agama semata seremoni dan label, bukan menjadi gaya hidup, jalan kehidupan yang menuntun kepada kebenaran. Bagaimana tidak heran semua beragama namun maling dan menindas malah menjadi gaya hidup, dan tidak merasa bersalah atau berdosa bahkan.

Apakah mau begini terus?

Bangsa ini tidak kurang orang baik dan pintar, Cuma abai akan nilai moral dan mental yang baik. Gagasan revolusi mental masih mentok dan belum banyak berubah karena barisan sakit hati yang tidak mau beranjak. Tidak bisa menolak mereka merusak dan memboikot. Jika memiliki kesadaran ini untuk bangsa dan negara, bisa sejenak melupakan sosok pemimpinnya, namun buahnya. Sayang jika pemimpinnya saja yang dilihat buruk dan nilai di baliknya tidak dilihat. Jangan heran jika akan selalu terpuruk.

Para pejabat, bersinergilah dan menjalin kerjasama bukan semata kerja bersama-sama. Hal ini jarang terlihat, selain seremoni kebersamaan, cipika-cipiki, berpelukan, namun di belakang saling tusuk, saling jegal, dan buyar semuanya. Susah di bawah, akar rumput bisa bekerja sama jika teladannya, perilakunya bertolakbelakang.

Potensi itu ada, melimpah, dan tidak sedikit yang mumpuni, namun belum terolah dengan baik karena masih kuatnya pola lama yang masih maruk, memikirkan kepentingan sendiri, dan hanya berkutat dengan maling dan maling. Orang baik malah tersingkir dan menjadi noda di antara keburukan itu.

Jayalah Indonesia

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun