Buni Yani, Kebo Ijo, Sebentuk Tumbal Politik
Sejarah Nusantara tidak bisa dilepaskan peristiwa perebutan kekuasaan dari Tunggul Ametung oleh Ken Arok dengan segala intrik, dan kecerdikan, serta kepentingannya. Tidak bisa dilepaskan dari peran kudeta yang dirancang dan dipelopori Kebo Ijo. Ini asli Kebo, bukan nama lain.
Kebo Ijo dan Empu Gandring memiliki peran penting kejatuhan Tunggul Ametung. Ia sebagai kepala pengawal sangat mungkin membunuh sang penguasa, karena kedekatan dan kepercayaan yang ia sandang. Apalagi dengan senjata yang dibuat sang empu yang paling menguasai peralatan dan senjata bagi sebuah ajian bagi sang penguasa.
Entah kecerobohan atau kebodohan Kebo Ijo hanya benar senjatanya yang membunuh, namun pelakunya dan yang mendapatkan kedudukan justru bukan dia. Atau kecerdikan Ken Arok yang bisa mengetahui segala sesuatu yang telah secara matang dipikirkan Kebo Ijo dan Empu Gandring. Paling pas kedua keadaan itu semua saling berkaitan dan menguntungkan posisi Ke Arok dan malah merugikan secara telak pada posisi Kebo Ijo dan Empu Gandring.
Ken Arok dan Suksesi
Zaman modern dan deokratis, suksesi adalah hal yang wajar. Suara rakyat sangat menentukan, beda dengan masa kerajaan di mana orang kuat, cerdik, dan mampu mengendalikan keadaan bisa mendapatkan kursi. Zaman modern pun tetap membutuhkan kecerdikan, kekuatan, dan kemampuan mengendalikan keadaan. Hal ini jelas nampak dalam diri Ken Arok yang tidak perlu capek-capek karena mendapatkan “durian runtuh” atas perilaku politik kalah cerdas ala Kebo Ijo
Kebo Ijo, Tumbal Politik
Kebo Ijo antara obsesi dan kemampuan yang tidak memadai membuat kinerjanya ceroboh dan bisa ditelikung oleh Ken Arok. Tragisnya ia menjadi tertuduh dan akhirnya mati sebagai seorang pemberontak tanpa hasil, nama buruk, dan mati konyol akhirnya. Apakah ini kesalahan karena obsesi tanpa kemampuan atau karena ditelikung orang lain? Jelas kesalahan ada pada dirinya yang tidak mampu menjaga rahasia apa yang akan ia lakukan dengan baik hingga sedetail mungkin. Lebih menyedihkan lagi, senjata andalannya bisa ada di tangan musuh tanpa ia bisa membuktikan sama sekali.
Politik, menggunakan segala cara, termasuk memutarbalikkan fakta
Entah sengaja, atau karena pengaruh masa lalu. Yang jelas bukan kesabaran Ken Arok, kecerdikan memanfaatkan moment, terutama mengalahkan Kadiri tanpa menggunakan banyak korban, selain karena kecerdikan memilih medan peperangan, namun justru politik telikung, politik memutarbalikkan fakta, dan politik licik menggunakan orang lain sebagai tumbal demi kekuasaan pihak lain. Hal ini terus menerus terulang. Bagaimana peristiwa ’65 masih begitu sensitif padahal sudah lebih setengah abad terjadi. Siapa pelakunya hingga hari ini masih saja menjadi perdebatan panas. Dalangnya siapa, yang jelas ada Pak Harto almarhum yang mendapatkan jabatan hingga 32 tahun. Letkol Untung dan kawan-kawan menjadi sebentuk Kebo Ijo dan rekan. Meskipun tetap saja apakah demikian adanya, karena peradilannya identik dengan peradilan Kebo Ijo. Semua gelap dan tidak jelas, selain ancaman dan intimidasi yang lahir. Tidak mengagetkan anak-anak Ken Arok mengulangi kisah sang bapak. Anak tirinya, anak Ken Dedes dan Tunggul Ametung yang tahu bahwa ia bukan anak kandung Ken Dedes, masa dewasa pun mengadopsi cara Ken Arok yang membuat ia pun mati dengan cara yang sama.
Balas dendam politik, karena demokrasi akal-akalan dan okol-okolan
Kisah zaman kerajaan jelas okol dan akal yang dikedepankan untuk merebut kekuasaan. Lucu dan ironis jika pengalaman masa lalu dipakai dan diterapkan dengan mddel yang sama. Kelompok, pribadi, parpol yang kerja keras dikadalin untuk kemenangan pihak lain yang bisa mempermainkan keadaan. Okol dengan perang dan perebutan kekuasaan, akal, bagaimana bukan darah bisa mendapatkan kesempatan untuk memperoleh kedudukan itu, eh malah kini bukan akal namun akal-akalan, dan masih kembali okol yang dikedepankan. Jika demokrasi berjalan sebagaimana mestinya, balas dendam tidak akan ada, karena pergantian kekuasaan adalah hal yag biasa, wajar, dan natural. Suksesi berjalan dengan baik, riak itu masih normal, namun jika yang datang adalah badai artinya bukan normal malah berbahaya.
“Pengambil Keuntungan” Politik
Di antara balas dendam politik, ada pencari keuntungan di mana “penelikung” yang mengambil keuntungan di antaranya. Jika politik sudah berjalan dengan baik, normal, dan natural, kekalahan itu tidak akan sekasar jika demokrasi akal-akalan. Kalahnya sudah bisa diprediksikan dan diukur karena apa. Pemenangnya pun sudah jelas karena apa dan mengapa.
Buni Yani dan Kebo Ijo
Peradilan Buni Yani masih berlangsung. Ia mendapatkan status tersangka dan diadili karena perilakunya, di sisi lain ada yang mendapatkan keuntungan. Selama ini ia sendirian, harapannya adalah apa yang ia hadapi atau ia peroleh bukan setragis Kebo Ijo, yang jelas sekarang, ia sendiri, tidak mendapatkan apa-apa selain tersangka.
Apakah kita akan meneruskan politik ala Ken Arok terus menerus?
Jayalah Indonesia
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H