Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Susahnya Jadi Anies-Sandi

22 April 2017   12:34 Diperbarui: 23 April 2017   04:00 1575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemenangan ini harus dibayar mahal oleh Anies-Sandy karena banyak hal yang melekat kepada pasangan ini sejak lama. Bukan karena perilaku kampanye hitam atau apa, namun secara tidak sadar ada di sana. Ide, gagasan, atau program juga bisa menjaid beban berat.

Radikalis yang bahkan media barat dan luar negeri pun mengulasnya. Dengan demikian, negara lain pun memberi perhatian akan hal ini. Bagaimana Anies-Sandy bisa meyakinkan penduduk Jakarta yang pluralis, bahkan negara lain jika mau investasi atau datang ke Jakarta. Padahal keseharian kemarin jelas-jelas bertautan erat dengan kelompok ini. Berkaitan pula dengan dana ormas yang dijanjikan, jika menghentikan dengan dalih perundang-undangan, akan menjadi bunuh diri karir pemerintahannya, sebaliknya, jika tetap memberikan sebagaimana janji politiknya, siap-siap saja dirongrong ormas yang bisa melebihi polisi di dalam bersikap, tanpa aturan jelas sehari-hari. Pekerjaan rumah yang tidak ringan, meskipun mendulang suara cukup besar dalam kaitan ini.

Soal penistaan agama Ahok, dan politisasi agama dalam pilkada. Hal ini tidak secara langsung dilakukan Anies-Sandy, tapi bagaimana pandangan orang yang telah kuat melekat bahwa suara Anies-sandy didulang karena sentimen ini. Kecurigaan orang  ke Pak Beye karena beliau yang paling getol soal ini, toh termentahkan karena kader Pak Beye sudah keluar duluan, dan kemudian malah Pak Anies-Sandy yang memenangkan, sedangkan kepercayaan publik ke Ahok-Djarot sangat tinggi. Jika mau nyinyir berdasar jangan hanya asal komentar.

Janji uang muka nol persen. Hal in memang sudah kedodoran di masa kampanye, apalagi nanti ketika sudah menjadi realisasi. Hal ini mungkin paling gampang karena dengan mudah mengatakan peraturan itu tidak mungkin diganti, perlu waktu, selesai.

Penggusuran dan penertiban. Ini janji yang tidak mudah karena berkaitan dengan macet, banjir, kumuhnya sungai, ruang terbuka hijau, dan ketertiban kependudukan. Sangat sulit direalisasikan yang katanya menggeser dan sebagainya itu. Susah karena janji utopis yang hanya menarik simpati, pokoknya nanti menang dulu, urusan belakangan.

Relasi dengan dewan. Ini benar-benar simalakama, bagaimana janji untuk harmonis itu nanti bisa menjadi bumerang yang sulit diselesaikan. Keras dan tegas akan diledek mana janjinya, harmonis ya jelas artinya kerja sama yang tahu sama tahu dan model dewan yang diberi hati akan ambil ampela. Ini ribet juga, apalagi anggaran siluman jelas saja mereka ahlinya.

Birokrasi yang menggunakan hati. Lha ini beban luar biasa beratnya, apalagi masih ada di bawah bayang-bayang Ahok. Sukses akan dikatakan kinerja Ahok, rekrutmen, tata kelola dan kinerja ciptaan Ahok, kalau gagal jelas saja akan jadi tertawaan. Hal ini sangat konkret karena jelas sekali di depan mata warga. Pelayanan publik berubah sedikit saja kelihatan, kalau meningkat susah terlihat, tapi jangan kaget jika merosot sedikit saja akan ribut ke mana-mana. Tidak akan mudah hal ini.

Belum lagi menghadapi makelar, calo, dan preman yang level “gila” pak Ahok saja masih banyak kecolongan, belum tahu bagaimana model Pak Anies-Sandy yang jelas sudah mengatakan kepada birokrasi dan kota yang memanusiakan, memberikan hati, dan kenyamanan bukan ketakutan.

Keras, tegas, kadang tangan besi diperlukan untuk membentuk dan mengubah tabiat yang sudah parah. Besi yang bengkok perlu pemanasan dan penempaan, bukan dielus-elus, ini juga manusia sudah mengerak. Almarhum Lee Kuan Yu juga melakukan hal yang sama untuk mngubah Singapura dari kumuh menjadi modern.

Bukan dalam arti sirik, nyinyir, atau sudah pesimis sebelum terjadi, bagaimana tidak ketika janjinya adalah kebalikan jalan yang harus ditempuh. Jakarta ini sudah sangat ketinggalan. Jauh bahkan dengan tetangga, sebagai ibukota namun tampilannya jauh dari seharusnya. Kapan akan maju jika diberi hati terus, toh selama ini tidak ada perubahan.

Tegas itu tidak identik dengan kejam atau melanggar aturan. Tegakkan aturan, mau tegak bagaimana ketika pelanggar hukum semua sudah berkontribusi, memberikan hutangan dulu. Hal ini masalah yang bisa timbul di tengah jalan, meskipun kemarin mengatakan tidak ada pamrih tidak ada kepentingan dan sejenisnya.

Belum ada yang degradasi sukses gilang gemilang memimpin, Nur Mahmudi, contohnya, juga biasa-biasa saja. Bisa saja Pak Anies membuat sejarah dan membuat Jakarta menjadi ibukota yang membanggakan dan tidak memalukan.

Jayalah Indonesia

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun