Subsidi itu juga ada yang mengambil untung.
Pihak-pihak yang mendapatkan durian runtuh soal subsidi ini tentu tidak suka jika bangsa ini maju, modern, kritis, dan mau berpikir. Pesta durian mereka gagal karena enggan uang sendiri untuk pesta pora.
Suap dan kolutif,
Hal ini pernah saya bahas kala di pengadilan. Hal ini enak bagi sebagian elit baik pusat atau daerah, bahkan lingkungan sekalipun. Tentu yang enak ini, bagi manusia akan dipertahankan semampu mungkin. Tidak peduli pada pihak lain.
Hal ini bukan soal pendidikan tinggi atau rendah, namun sikap batin untuk mau berempati, mau berbela rasa. Apakah itu ada di pikiran dan perasaan bangsa ini? Jelas sama sekali tidak.
Pendidikan lagi-lagi memegang peran penting. Bagaimana pendidikan budi pekerti, bukan semata kognisi dan prestasi otak yang dikedepankan. Coba kita renungkanapa tidak malu melihat antrean mengambil uang BLT waktu itu? Benar bahwa miskin itu bukan pilihan, namun bukan demikian caranya memberdayakan mereka. Apalagi miskin karena ketidakadilan, uangnya dimaling untuk pesta pora.
Tidak malu melihat kawasannya kumuh, jorok, dan banyak masalah. Ini tidak soal gelar doktor atau profesor. Hal ini pada ranah rasa dan kepekaan sosial. Toh banyak juga pejabat yang masih bisa tertawa-tawa padahal banjir karena sampah ada di depan mata. Otak mereka tahu, tapi rasa mereka tidak peduli.
Lagi dan lagi, ranah agama memegang peran penting. Malu jika sumpah jabatannya tidak dilakukan, malu jika ada yang tidak beres namun masih merasa sukses dan berhasil. Agama bukan semata tulisan di KTP, gelar, pakaian, ritual, namun menjadi gaya hidup, cermin di dalam bersikap dan bertindak.
Hampir tiga tahun, belum sebanding dengan 19 tahun reformasi yang masih penuh kolusi, korupsi, dan nepotis di banyak bidang. Mengubah karakter, tabiat, apalagi sudah budaya bukan hal yang mudah. Masih ada harapan, karena banyak yang sudah terlihat nyata.
Jayalah Indonesia
Salam