Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Roger Milla, Mario Kempes, hingga Essien, Apa yang Diperoleh?

18 April 2017   18:32 Diperbarui: 26 April 2017   19:00 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Heboh kedatangan Essien yang pernah ada di klub elit Eropa, melengkapi kegirangan karena pelatih timnas adalah pelatih timnas Spanyol yang pernah membawa juara. Soal pemain masa lalu yang besar dan tenar tidak kurang-kurang, pernah ada Mario Kempes bintang Argentina, Roger Milla bintang Kamerun. Apa yang didapat Indonesia?

Dulu, prestasi Indonesia masih bisa sejajar bahkan di depan saat pemain semua asli orang Indonesia, bukan pemain asing. Kesempatan untuk main dan dikontrak lebih besar daripada ada pemain luar. Benar bahwa zaman makin mengglobal, namun apakah sudah siap bersaing?

Pemain asing tidak kok langsung dinilai sebagai penyebab terpuruknya pemain lokal, tidak juga, atau ambil pemain bekas besar juga buruk. Toh USA bisa berbuat banyak dengan penggunaan pemain ex-bintang.

Sikap belajar bangsa ini perlu ditingkatkan.

Transfer ilmu dan skil ternyata tidak berjalan. Miris malah pemain asing ikut tabiat pemain lokal yang main keras bahkan kasar, aturan dilanggar sebagai hal biasa. Terbaru malah ada upaya akal-akalan agar pemain asing bintang tetap bisa bermain dengan mengakali aturan. Entah apa maunya pejabat PSSI ini.

Orientasi penonton dan uang, termasuk sponsor, prestasi nanti dulu

Uang atau materi itu konsekuensi logis atas prestasi, jangan dibalik. Paradigma di Indonesia, juga sepakbola, uang dulu, padahal jika prestasi baik, pengelolaan bagus, uang, sponsor, pemain baik akan berdatangan, bisa jauh lebih murah tentunya. Prestasi masih juga berkutat level trakam, tapi pembelanjaan pemain gila-gilaan, dari mana coba?

Tabiat potong kompas bukan pembinaan berjenjang.

Maunya seperti Barcelona, Madrid, MU, atau Juventus, tapi mereka punya akademi dari sangat dini, di sini mana ada? Mengandalkan talenta alam yang kebetulan ditemukan, hal ini harus diubah, ciptakan bakat-bakat alami, jual hingga ke luar negeri, coba uangnya besaran mana? Contoh Arsenal, meski prestasi sama di sini, tapi memang orientasi beli pemain yang biasa dijaul sangat mahal. Toh mereka masih peringkat empat berabadabad. Jelas ada tujuan yang mau dicapai. Pembinaan tidak ada, jual beli pemain seperti kacang rebus.

Banyaknya kepentingan di luar sepak bola.

Susahnya sepak bola ini sama dengan soal swasembada beras, kemauan berubah. Toh kini beras bisa mampu swasembada, mengapa? Karena tegas menghindari kepentingan kelompok (importir dan pejabat korup), dan mau kerja keras. Sepak bola juga, bagaimana ada Mario Kemps, dihukum FIFA tapi masih saja hal yang sama dilakukan. Kalau pemain baik sedikit disanjung setinggi langit kalau jatuh terhempas koma, ditinggal pergi. Ini beban untuk si bintang, contoh U-19 era Indra Sjafri, dielu-elukan setinggi langit, pas hancur karena kepentingan, semua lari. Beban bagi pemain juga bagi yang tidak bisa ke sana menjadi frustasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun