Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Paskah 2017, Pelopor Peradaban Kasih, dan Penggembokan Kapel

18 April 2017   10:44 Diperbarui: 20 April 2017   14:49 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Paskah 2017, Pelopor Peradaban Kasih, dan Penggembokan Kapel

Selamat Paskah bagi yang merayakannya

Paskah tahun ini Gereja mengambil tema “Pelopor Peradaban Kasih” sebuah tema yang sejatinya esensi orang hidup di dunia ini yang penuh kasih. Ini bukan soal agama, atau soal kepercayaan, namun hidup manusia sendiri adalah kasih. Mengasihi sesama apalagi jelas mengasihi Tuhan yang telah menciptakan kita. Tentu tidak ada yang menyangkal ini bukan? Jika bisa menyangkal, tunjukkan siapa yang bukan ciptaan Tuhan? Kloning sekalipun ciptaan Tuhan. Manusia berkreasi dari ada ke ada yang lain, beda dengan Tuhan yang menciptakan dari ketiadaan, creatio ex nihilo,kalau tidak salah ingat.

Pekan lalu ada dua peristiwa yang sedikit menghenyak hidup bersama di negeri Bhineka Tunggal Ika ini, kala di Ambarawa, Gereja St Yusuf, yang biasa dikenal sebagai Gereja Jago ada pelemparan petasan yang dilakukan kemungkinan orang gila ternyata.

Kedua, di salah satu kapel di Solo ada sekelompok orang yang menggembog pintu, sehingga umat tidak bisa menggunakannya untuk kegiatan puncak kalender liturgi Gerejani. Paskah adalah puncak, bukan Natal, dan ini  sangat disayangkan. Namun bukan ini yang mau saya kupas, ada hal yang menarik dilakukan umat kepada pastor parokinya.

“Romo banci....” sekitar itulah reaksi ketika pesan pendeknya menanyakan bagaimana sikap Pastor dan Gereja, yang dijawab akan diselesaikan dengan cara kekeluargaan.

Menarik adalah apa yang menjadi reaksi umat ini. Bagaimana selama Pra Paskah, masa 40 hari pantang dan puasa  yang diisi dengan pendalaman Iman yang dikenal dengan istilah APP,  selama berlangsungnya masa puasa ini biasanya di setiap lingkungan, seperti desa jika pemerintahan, diadakan sarasehan, diskusi, pendalaman iman dengan tema tertentu, tahun ini adalah “Peradaban Kasih.” Jelas pilihan pastor paroki sesuai ajaran Gereja dan juga Injil untuk membawa kasih, tahu persis juga gejolak umat atas “penghinaan” ini.

Ternyata tidak mudah mengimplementasikan ide, gagasan, dan cara bertindak yang baru. Pas mau disiksa salah satu murid yang bernama Petrus menghunus pedang dan memotong telinga salah satu serdadu, malah ditegur dan kuping  itu dikembalikan.

Belajar dari sana dan tema peradaban kasih berarti:

Pertama, tidak membalas kekerasan dengan kekerasan, jika bisa menghentikan dan mengubah menjadi kebaikan. Pilihan pastor paroki tepat dan ternyata umatnya masih sama dengan Petrus. Tidak mudah mengendalikan diri. Gigi ganti gigi jauh lebih mudah.

Kedua,  meskipun sudah pendalaman iman, sudah belajar panjang kali lebar, jika hati tidak terlibat, semua sia-sia. Coba pilihan benar oleh pemimpin gereja setempat malah dilemahkan sendiri  oleh umatnya.

Ketiga, setan dan kuasa kegelapan mengambi rupa siapa saja. Jadi jangan kaget kalau ada orang baik tiba-tiba jadi beringas dan berbuat tidak semestinya, kuasa jahat menguasai dirinya. Sepintar apapun bisa terkecoh jika tidak waspada.

Keempat, peradaban kasih lebih baik dimulai dari diri sendiri baru keluar, pemaksaan kehendak jelas bukan peradaban kasih. Contoh umat yang mau membela kapelnya tadi contoh bagaimana ia menjawab pemaksaan kehendak dengan pemaksaan kehendak yang sama.

Kelima, komunikasi adalah peradaban kasih, bukan senggol bacok yang merupakan tindakan biadab dan belum beradab. Bagaimana orang modern masih teriak, memaki, dan meneror yang berbeda, bahkan yang sama?

Keenam, bahasa kasih adalah damai, suka cita, sabar, rendah hati, dan tentu mengampuni. Bagaimana jika sebaliknya yang ada? Itu bukan bahasa kasih, diam bukan berarti takut dan salah, namun menjaga kerukunan, menjaga perdamaian, dan memaklumi.

Ketujuh, berani menyatakan kebenaran sebagai kebenaran. Bisa saja menentang arus utama. Tekanan publik bukan penentu kebenaran, namun kebenaran universal yang tidak dibengkokan kepentingan semata.

Kedelapan, berani karena benar bukan karena yang bayar apalagi karena temannya banyak. Hal ini telah memporakporandakan hidup bersama kita karena kebenaran bisa ditafsir dengan seenaknya sendiri sepanjang bisa mempengaruhi dan membentuk opini publik.

Kisah di atas hanya karena ketepatan dengan waktu, tempat, dan peristiwa, namun lebih dalam, sejatinya agama apapun itu tentu sepaham dengan kajian untuk hidup bersama dalam bingkai damai. Semua saudara paling tidak satu Pencipta.

Jayalah Indonesia

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun