Ketiga, setan dan kuasa kegelapan mengambi rupa siapa saja. Jadi jangan kaget kalau ada orang baik tiba-tiba jadi beringas dan berbuat tidak semestinya, kuasa jahat menguasai dirinya. Sepintar apapun bisa terkecoh jika tidak waspada.
Keempat, peradaban kasih lebih baik dimulai dari diri sendiri baru keluar, pemaksaan kehendak jelas bukan peradaban kasih. Contoh umat yang mau membela kapelnya tadi contoh bagaimana ia menjawab pemaksaan kehendak dengan pemaksaan kehendak yang sama.
Kelima, komunikasi adalah peradaban kasih, bukan senggol bacok yang merupakan tindakan biadab dan belum beradab. Bagaimana orang modern masih teriak, memaki, dan meneror yang berbeda, bahkan yang sama?
Keenam, bahasa kasih adalah damai, suka cita, sabar, rendah hati, dan tentu mengampuni. Bagaimana jika sebaliknya yang ada? Itu bukan bahasa kasih, diam bukan berarti takut dan salah, namun menjaga kerukunan, menjaga perdamaian, dan memaklumi.
Ketujuh, berani menyatakan kebenaran sebagai kebenaran. Bisa saja menentang arus utama. Tekanan publik bukan penentu kebenaran, namun kebenaran universal yang tidak dibengkokan kepentingan semata.
Kedelapan, berani karena benar bukan karena yang bayar apalagi karena temannya banyak. Hal ini telah memporakporandakan hidup bersama kita karena kebenaran bisa ditafsir dengan seenaknya sendiri sepanjang bisa mempengaruhi dan membentuk opini publik.
Kisah di atas hanya karena ketepatan dengan waktu, tempat, dan peristiwa, namun lebih dalam, sejatinya agama apapun itu tentu sepaham dengan kajian untuk hidup bersama dalam bingkai damai. Semua saudara paling tidak satu Pencipta.
Jayalah Indonesia
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H