Pertama karena penuh dengan obsesi jadi penguasa. Kepemimpinan yang melayani akan mengurangi tensi irrasional, malah akan memberikan kekuatan untuk rendah hati, terbuka, dan sportif serta supportif, bukan malah sebaliknya.
Kedua, kesiapan menang tidak dibarengi siap kalah. Penyakit menahun demokrasi di Indonesia adalah ini lupa kalah itu pasti juga ada menang tidak ada seri, jika ada tentu tindakannya rasional dan sangat logis.
Ketiga, politik dan demokrasi mahal. Karena beaya politik mahal, maka menggunakan segala cara agar menang buat mengembalikan modal bukan untuk memilikirkan bangsa dan negara (daerah dan rakyatnya). Ini jamak terjadi, apalagi Jakarta.
Keempat, demokrasi akal-akalan. Bagaimana hukum, peraturan, pelakunya masih saling terkait dengan uang. Artinya uang yang menguasai semunya. Banyak uang menang, gak ada uang melayang. Semua masih bisa dibeli sesuai dengan keinginan.
Apakah akan demikian terus terjadi?
Harapan itu ada perubahan ke depan lebih baik bisa dinyatakan sepanjang pelakunya ada yang masih rasional. Artinya, jika mau berubah dan bebenah, siapkan orang baik dan benar untuk menjadi virus kebaikan. Salah satu kota, entah apa motivasinya sedang gemar membuat banner, kata-kata rohaniwan, budayawan, dan moralis Frans Magnis Suseno yang “Pemilu bukan memilih yang terbaik, namun menghindarkan yang buruk berkuasa.”Menyingkirkan orang buruk dari tampuk kekuasaan dan biarkan orang biasa saja untuk bisa membuktikan diri. Tidak soal terbaik, minimal jangan orang buruk yang berkuasa.
Jayalah Indonesia
Salam