Asyik dengan dunia besar, politik elit negeri, eh malah lupa yang ada di depan mata. Sangat kaget kala keponakan bercerita soal rekannya telah jauh berjalan di dalam reman-remannya dunia. Dulu, dulu banget tahu benar kalau ada ciblek,anak SMP yang mau diajak ke hotel oleh om-om, bahkan minta dibuatkan pekerjaan rumah sebelum bertransaksi, itu di dalam benak hanya bagi anak-anak kota besar seperti Jakarta, Jogya, atau Semaranglah. Lha ini kota sekecil Salatiga dan Ungaran.
“Temenku Om, pas ke Bali, minta ditransfer uang oleh om-om yang biasa pakai dia...” atau “Temenku biasa begitu Om, lima ratus kalau hanya mabuk atau main karaokeke Bandungan dengan mas-mas...” atau “Kalau lebih dari itu yang sejuta minimal Om...”
Ponakan yang lagi usai ujian kelas XII berkisah polah temannya SMK. Ia anak SMK jurusan teknik, dalam artian bahwa jelas anak cewenya sangat terbatas. Di antara mereka, karena tidak banyak yang sejenis tentu saling kenal dan sangat tahu sama tahu dengan polah mereka. Ini yang cewe.
Demi Motor Keren dan Asesoris Terbaru, Kugadaikan Kemanusiaanku
Sisi lain adalah para cowok yang mau keren, ganteng, machoseperti di televisi, apadaya pendapatan orang tua terbatas. Gaya hidup sinetron ternyata juga telah merasuki ke kota kecil sekalipun. Mereka jadi calo untuk menawarkan rekannya untuk mendapatkan orderan.Mendapatkan uang gampang, banyak lagi, dan tentu larinya untuk gaya hidup.
Miris mendengar kisahnya, ini berdasar fakta yang memang ada dan terjadi. Bagaimana hal ini terjadi?
Pertama, pendidikan agama sebatas nilai di raport dan bukan menggerakkan hati. Agama semata koginisi, pengetahuan, ritual keagamaan tanpa makna selain hafal atau tahu. Tidak mendalam dan menjadi gaya hidup dan menjadi rambu-rambu bagi arah kehidupan.
Kedua, keteladanan. Sikap dan gaya hidup hedonis telah menjadi tren yang sangat mudah diakses, disaksikan, dan menjadi impian banyak kaum muda. Agama lemah, contoh di depan mata, apa yang terjadi? Jelas saja mengikuti.
Ketiga, dunia hiburan tidak sehat. Sinetron dengan gaya glamor, mewah, hape,motor, mobil mewah, itu bagi sebagian kaum muda dinilai fakta, gambaran kota besar itu seperti itu. Dramatisasi sebagai hiburan dimaknai sebagai kebenaran.
Keempat, pendidikan yang menekankan kecerdasan intelektual namun lemah dalam spiritual menambah kerusakan moral kaum muda. Bisa saja mereka nilainya tinggi secara akademis, namun melakukan perilaku menyimpang biasa saja.
Kelima, sikap permisif dari masyarakat, orang tua, dan pendidik. Susah memang dengan arus informasi yang tanpa jarak sedangkan masyarakat, orang tua, dan guru bisa dikelabui dengan adanya hapemudah dan meriah, internet dengan gampang bisa diakses anak-anak bahkan di depan orang tua sekalipun.
Keenam, penghargaan akan materi bukan kualitas diri. Pakaian montereng, bermerk, hapebanyak dan mahal, tunggangan keren dan berganti menjadi idola kaum muda, padahal mereka bisa membeli dari mana tidak menjadi perhatian.
Ketujuh. Media menyajikan hiburan tidak sehat secara masif. Susah menemukan hiburan sehat di media, baik elektronik ataupun cetak. Pola pikir kritis belum terbangun dalam pendidikan di Indonesia.
Solusi yang bisa ditempuh.
Satu, pendidikan agama ditekankan bukan hanya ranah kognisi namun masuk menjadi gaya hidup dan sebagai pedoan bukan semata hapalan dan tahu. Mengerti dan menjalankan, tugas sekolah dan lembaga keagamaan tentunya.
Dua, pendidikan budi pekerti, seperti PMP dan sejenisnya, yang mengajarkan nilai-nilai humaniora. Materi itu penting namun bukan segalanya. Kualitas diri manusia itu ada di dalam jiwa bukan asesoris yang dimiliki.
Tiga, peran revolusi mental untuk pejabat negeri agar bisa memberikan keteladanan bukan hanya wacana, ide, atau malah memberi contoh ma limasecara kasat mata, tanpa merasa bersalah apalagi berdosa.
Empat, pendidikan yang memberikan porsi ranah hati, rasa, dan evaluasi diri secara lebih besar, selama ini hanya berfokus pada ranah kognisi semata. Otak penting namun perlu keseimbangan hati dan budi tentunya.
Lima, pendampingan dalam hal karakter, sehingga anak didik mampu melihat dunia secara obyektif dan menyeluruh, bukan hanya sebatas kesenangan, kemegahan, kemewahan semata. Ada sesuatu di balik itu semua. Pemaknaan ini sering lepas dari dunia pendidikan karena banyaknya beban kurikulum yang perlu dikuasai siswa.
Enam, kepintaran saja tidak cukup, ketika itu dipakai untuk mengelabui sesama. Hal ini menjadi gaya hidup dari atas hingga bawah, tidak heran anak sekolah pun telah berlaku demikian. Tugas sekolah dan lembaga agama untuk memberikan pencerhan kepada generasi muda yang cerdas secara emosional dan spiritual.
Ketujuh, hukuman yang setimpal dan berat bagi pelaku kejahatan anak di bawah umur. Selama ini hal yang terang benderang di depan mata saja masih bisa diatur di lingkup peradilan. Lha bagaimana tidak ketika pejabat negara pun pesan “model” demikian jika kunjungan kerja.
Akankah generasi muda bangsa ini hanya mengejar kesenangan duniawi tanpa bekal yang berkaitan dengan alam baka? Kesenangan dunia bukan kesalahan namun perlu juga batasan secukupnya.
Jayalah Indonesia.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H