Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekolah Berasrama dan Kekerasan, Prihatin atas Pembunuhan di SMA Taruna Nusantara

2 April 2017   14:47 Diperbarui: 6 April 2017   20:30 945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekolah Berasrama dan Kekerasan, Prihatin atas Pembunuhan di SMA Taruna Nusantara

Dunia pendidikan yang hendak memperingati lahirnya hampir sebulan lagi dikagetkan dengan peristiwa pembunuhan anak sekolah terhadap rekannya, di asrama lagi. Berita yang memperpanjang dunia pendidikan yang diwarnai dengan kekerasan demi kekerasan, dosen dibunuh mahasiswanya, murid ditendang gurunya, guru dikeroyok muridnya, orang tua melapor polisi karena tidak terima karena anaknya dihukum, dan masih banyak lagi.

Biasa, sama dengan sekolah lain.

Kisah di SMA TN ini sebenarnya hal yang sangat biasa, wajar, tidak beda dengan pembunuhan dan penganiayaan di sekolah lain, bahkan sekolah dasar sekalipun. Bukan berarti bahwa hal ini juga dinilai lumrah dan biasa saja, dalam arti tidak perlu perhatian, bukan demikian. Justru menjadi tanya besar ketika seleksi dan test psikologi, mengapa anak berpotensi kekerasan hingga pembunuhan seperti ini bisa lolos. Tanya besar juga untuk sekolah lain dan termasuk yang lebih senior seperti Akabri, STPD, dan sejenisnya. Mengapa sekarang menular ke yuniornya? Ke mana hasil test psikologi itu? Meskipun test psikologi bukan satu-satunya dan yang utama, tapi bisa membantu melihat potensi itu.

Usia Remaja dan Dewasa Akhir, Pencarian Jati Diri

Usia di mana pencarian jati diri sedang mekar-mekarnya. Sangat bisa mengerti karena pernah mengalami hidup di asrama, meskipun bertolakbelakang, namun bisa mengerti dengan baik, bahkan paham bagaimana dinamika di sana terjadi. Pencarian jati diri yang sebenarnya sangat terbantu dengan pendampingan dari profesional yang ada di sekolah sekaliber TN, namun “produk gagal” tetap saja terjadi, namanya manusia, tidak bisa diprediksi dengan begitu saja. Bisa saja teori mengatakan A namun faktanya B, manusia yang bisa juga mengelabui test ini itu, atau memang sikap yang berbeda. Pencarian jati diri yang bisa membuat frustasi.

Persaingan yang Tidak Dibarengi Pendampingan yang Sepadan.

Berkaitan dengan pencarian jati diri, persaingan usia muda, tentu bisa menjadi sangat sengit, tetapi tidak dibarengi dengan instrumen yang memadai. Saya yakin CCTV mewarnai dunia modern di sana, pengawasan yang sangat ketat, saya baca ada pemeriksaan belajaan segala. Berbeda asrama tempat saya, sama sekali tidak ada CCTV dan pemeriksaan berlebihan belanjaan ini, bahkan pisau ada di mana-mana dengan biasa saja, tidak ada persoalan. Kemarahan atas kegagalan, bully,dan tetek bengek lainnya hanyalah efek atas persaingan yang bisa saja tidak seimbang.

Iri dan dengki atas berbagai hal

Susah dikatakan atas ini dan itu, namun bahwa anak asrama bisa menjadi iri dengki dan sebagainya, hanya karena soal sepele. Strata sosial yang tidak disadari bisa menjadi potensi kekerasan. Iri atau pengin atas fasilitas mewah dari siswa lain, prestasi atau nilai siswa lain bisa menjadi pemicu yang sangat potensial besar pengaruhnya. Belum lagi jika ada perlakuan yang berbeda dari staf atau pihak lain yang sangat dirasakan dan meresahkan. Sangat manusiawi.

Kedisiplinan Tidak Identik dengan Kekerasan

Hukuman badan dengan push up, sit up,atau pukul di perut, atau berlari mengitari, ,  lapangan sebagai hukuman sangat tidak relevan dengan dunia pendidikan. Jangan salahkan kalau kekerasan yang diajarkan itu jelas menular dan menjadi teladan yang mudah dan bagus. Ini sekolah menengah dan bukan sekolah militer sebenarnya, berbeda pendekatan jika memang sekolah militer tentunya. Kami disiplin meskipun tidak ada tamparan, gamparan, atau push updan sit upmewarnai pendidikan kami. Kedispilnan perlu kesadaran, pintu gerbang baru dikunci malam hari toh kami tidak pernah menyelinap (kadang juga, ha...ha...)

Solusi

Ciptakan Keterbukaan, Bukan Terpaksa Terbuka

Keterbukaan dan terpaksa terbuka berbeda. Belum lagi kalau anaknya memang tertutup. Terbuka sangat tidak mudah, segala persoalan ada jalan keluarnya. Jika tercipta alam keterbukaan bukan hal sulit menciptakan kedamaian dan ketenteraman tanpa kekerasan. Ini bukan ide utopis, namun realistis, bahwa kekerasan jelas ada namun bukan yang utama, dominan, apalagi adanya pembunuhan seperti ini. Terbuka dalam segala hal. Salah satu yang kami alami namanya adalah corectio in fraterna,mengoreksi di dalam sikap persaudaraan. Semua adalah saudara, baik dan buruk diterima sebagai fakta untuk mengembangkan kebaikan dan mengurangi kekurangan.

Penghormatan itu tidak dipaksakan akan lahir dari rasa respek

Salah satu “penyakit” asrama adalah soal yunior dan senior, di seminari yang berlandaskan cinta kasih saja terjadi, pernah, sekarang tidak lagi, apalagi sekolah biasa, yang sangat potensial tercipta. Apa yang bisa dilakukan adalah kebersamaan. Banyak sarana bisa dipakai untuk itu. Penghormatan itu bukan paksaan namun respek dan sikap batin. Bullydalam arti positif bisa mempererat persaudaraan kog. Bagaimana paraban,nama yang sangat jelek sekalipun menjadi kebanggaan, mana ada orang dipanggil celeng, jampes,masih bisa tertawa-tawa. Di sinilah letaknya saling menghormati, setara. Olah raga bersama, rekreasi bersama, kerja lapangan bersama, bukan bekerja bersama-sama, tapi bekerja sama.

Kebebasan yang terampas atau diserahkan, ini jelas beda jauh dan sangat mendasar

Jangan anggap sepele dan remeh sekolah berasrama dan di rumah sama lho. Berbeda, memang dalam kasus tertentu ada yang dengan mulus menjalani transisi, namun bisa juga susah dan jatuh bangun, ada pula yang tidak ada perbedaan. Kebebasan yang jelas terenggut harus disadari dan disadarkan, jangan malah dikatakan kalian akan menjadi pemimpin yang harus ini dan itu. Saya tidak seratus persen yakin, namun menduga, bahwa sekolah di sana sudah tercipta, entah sadar atau tidak menjaga jarak dengan level yang biasa. Level orang besar yang ditekankan, bisa menjadi pribadi yang arogan. Saya tidak pernah menyaksikan mereka jajan di K-lima, atau belanja di toko kelontong, ini sepele sebenarnya, namun dampaknya besar lho. Berkaitan dengan kebebasan mereka yang “terpaksa” juga telah menjadi elit sebelum waktunya, karena toh mereka tidak semua orang berada, yang kalau belanja ke mall,pas di rumah.

Perlakuan khusus dan istimewa yang bisa berbahaya.

Membaca syarat masuk Polri, ada syarat khusus untuk siswa-i TN dan salah satu sekolah lain, sekolahnya sudah disebut, bisa lintas provinsi, hal ini masalah teknis yang memang harus seperti itu, namun bisa menjadi bumerang kalau tidak disadari sebagai warga negara yang sama lho. Nama sekolah mereka sudah berbeda, belum lagi jika dalam pembicaraan telah dicekoki dengan berbagai jargon sebagai pemimpin masa depan, sikap, perbuatan, dan perilaku harus begini begini, tanpa kesadaran malah membuat mereka menjadi pribadi yang arogan.

Sungguh prihatin melihat pendidikan dan generasi muda mudah tersulut emosi hanya hal yang kadang sepele. Ada yang perlu diubah.

Jayalah Indonesia!

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun