Hukuman badan dengan push up, sit up,atau pukul di perut, atau berlari mengitari, , lapangan sebagai hukuman sangat tidak relevan dengan dunia pendidikan. Jangan salahkan kalau kekerasan yang diajarkan itu jelas menular dan menjadi teladan yang mudah dan bagus. Ini sekolah menengah dan bukan sekolah militer sebenarnya, berbeda pendekatan jika memang sekolah militer tentunya. Kami disiplin meskipun tidak ada tamparan, gamparan, atau push updan sit upmewarnai pendidikan kami. Kedispilnan perlu kesadaran, pintu gerbang baru dikunci malam hari toh kami tidak pernah menyelinap (kadang juga, ha...ha...)
Solusi
Ciptakan Keterbukaan, Bukan Terpaksa Terbuka
Keterbukaan dan terpaksa terbuka berbeda. Belum lagi kalau anaknya memang tertutup. Terbuka sangat tidak mudah, segala persoalan ada jalan keluarnya. Jika tercipta alam keterbukaan bukan hal sulit menciptakan kedamaian dan ketenteraman tanpa kekerasan. Ini bukan ide utopis, namun realistis, bahwa kekerasan jelas ada namun bukan yang utama, dominan, apalagi adanya pembunuhan seperti ini. Terbuka dalam segala hal. Salah satu yang kami alami namanya adalah corectio in fraterna,mengoreksi di dalam sikap persaudaraan. Semua adalah saudara, baik dan buruk diterima sebagai fakta untuk mengembangkan kebaikan dan mengurangi kekurangan.
Penghormatan itu tidak dipaksakan akan lahir dari rasa respek
Salah satu “penyakit” asrama adalah soal yunior dan senior, di seminari yang berlandaskan cinta kasih saja terjadi, pernah, sekarang tidak lagi, apalagi sekolah biasa, yang sangat potensial tercipta. Apa yang bisa dilakukan adalah kebersamaan. Banyak sarana bisa dipakai untuk itu. Penghormatan itu bukan paksaan namun respek dan sikap batin. Bullydalam arti positif bisa mempererat persaudaraan kog. Bagaimana paraban,nama yang sangat jelek sekalipun menjadi kebanggaan, mana ada orang dipanggil celeng, jampes,masih bisa tertawa-tawa. Di sinilah letaknya saling menghormati, setara. Olah raga bersama, rekreasi bersama, kerja lapangan bersama, bukan bekerja bersama-sama, tapi bekerja sama.
Kebebasan yang terampas atau diserahkan, ini jelas beda jauh dan sangat mendasar
Jangan anggap sepele dan remeh sekolah berasrama dan di rumah sama lho. Berbeda, memang dalam kasus tertentu ada yang dengan mulus menjalani transisi, namun bisa juga susah dan jatuh bangun, ada pula yang tidak ada perbedaan. Kebebasan yang jelas terenggut harus disadari dan disadarkan, jangan malah dikatakan kalian akan menjadi pemimpin yang harus ini dan itu. Saya tidak seratus persen yakin, namun menduga, bahwa sekolah di sana sudah tercipta, entah sadar atau tidak menjaga jarak dengan level yang biasa. Level orang besar yang ditekankan, bisa menjadi pribadi yang arogan. Saya tidak pernah menyaksikan mereka jajan di K-lima, atau belanja di toko kelontong, ini sepele sebenarnya, namun dampaknya besar lho. Berkaitan dengan kebebasan mereka yang “terpaksa” juga telah menjadi elit sebelum waktunya, karena toh mereka tidak semua orang berada, yang kalau belanja ke mall,pas di rumah.
Perlakuan khusus dan istimewa yang bisa berbahaya.
Membaca syarat masuk Polri, ada syarat khusus untuk siswa-i TN dan salah satu sekolah lain, sekolahnya sudah disebut, bisa lintas provinsi, hal ini masalah teknis yang memang harus seperti itu, namun bisa menjadi bumerang kalau tidak disadari sebagai warga negara yang sama lho. Nama sekolah mereka sudah berbeda, belum lagi jika dalam pembicaraan telah dicekoki dengan berbagai jargon sebagai pemimpin masa depan, sikap, perbuatan, dan perilaku harus begini begini, tanpa kesadaran malah membuat mereka menjadi pribadi yang arogan.
Sungguh prihatin melihat pendidikan dan generasi muda mudah tersulut emosi hanya hal yang kadang sepele. Ada yang perlu diubah.