Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mega Korupsi KTP-El, di Antara "Dasamuka Kura Kura Hijau", dan Pembangunan Infrastruktur

2 April 2017   09:00 Diperbarui: 4 April 2017   15:11 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mega Korupsi KTP-El,  di antara "Dasa Muka Kura-Kura Hijau", dan Pembangunan Infrastruktur

Mendengar adanya pasokan pasir baru bagi depo-depo di sekitaran Kabupaten Semarang, yang konon berasal dari galian untuk membuat embung. Terminal di Solo dan Bawen juga dibangun dengan sangat megah, tidak berbeda jauh dengan bandara, atau stasiun di mana-mana juga bersih, rapi, dan mewah. Sekolah dan puskesmas yang dulu kusam, tidak menyenangkan untuk berdesak-desakan, kini telah banyak yang berubah. Lantai hampir semua telah berganti keramik dari yang lama ubin banyak yang copot. Rumah sakit tidak lagi apa adanya, hampir semua telah bertingkat, ada lift,  semua lantai dan dinding berkeramin, kantor dan ruang-ruang tertentu telah berpendingin ruangan.

Banyak sungai sedang dibangun tanggul di tepi-tepinya, sehingga rapi, bisa dibuat taman di sekitarnya,  tempat berlari dan rekreasi murah meriah. Jalan tol di mana-mana ada gairah pengerjaan, pintu gerbangnya dibangun dengan megah dan mewah, jalanan juga jauh lebih lapang dan bersih, meskipun tidak lepas dari kemacetan bahkan di kampung jauh dari kota sekalipun. Tentu ini pembicaraan berbeda. Artinya apa? Pendanaan untuk pembangunan bisa terjadi dan terlaksana dengan relatiflebih baik.

Selama ini memang tidak ada pemerintahan? Sehingga sekolah dasar negeri, puskesmas, kusam sehingga terkesan kotor? Pembangunan embung dan waduk di mana-mana, padahal selalu saja kalau musim penghujan refrein soal banjir terdengar, atau sebaliknya kalau musim kemarau, kekeringan dan panen gagal karena tidak ada air nyaring tersiar.

Nyaring terdengar kini soal mega skandal nyolong uang negara di sektor pembuatan KTP yang dengan kartu anggota toko buku saja kalah baik kualitasnya, padahal itu bonus pembelian. KTP-el yang dibeayai dengan mahal dan mengurusnya juga perlu bea itu malah kalah jauh baik kualitas ataupun tampilannya. Ternyata anggara per lembarnya lebih mahal empat kali lipat dari yang seharusnya. Dari politikus hinggga pejabat, sekarang ada yang menjadi pimpinan daerah, ada yang jadi pimpinan lembaga ini itu, hingga yang sudah nyaman di balik jeruji besi masih menjadi pembicaraan di meja hijau persidangan.

Salah satu tokoh sentral yang banyak pihak sebut justru kini nyaman di kursi pimpinan di mana lembaga itu ditengarai sarang penyamun anggaran, salah satunya jelas KTP-el ini. Si tokoh ini seperti Dasamuka, di mana punya sepuluh kepala yang selalu saja masih bisa bertahan meskipun “badai” kesaksian menyasar ke dirinya. Bukan kali ini saja, akhir tahun yang lampau heboh hingga menjungkalkannya dari kursi pucuk pimpinan eh masih bisa balik lagi, tidak pakai lama.

Hampir semua maling anggaran yang berskala besar selalu menyebut namanya. Selalu saja juga bisa lepas dan bisa senyam-senyum tanpa salahnya itu. Lihai sih harus dalam berpolitik, namun jika licik dan culas perlu disayangkan.

Politik mahal dan maling anggaran

Salah satu maraknya maling adalah, politik mahal, baik bagi parpol ataupun politikusnya itu sendiri.  Bagaiman tidak jika untuk menjadi kader parpol yang mumpuni tidak perlu kaderisasi dan prestasi namun membeli.Membeli pemilih dan parpol agar diusung menjadi ini itu. Tidak ada makan siang yang gratis, maka ketika menjabat mau tidak mau mengambil kembali keuntungan yang pernah dikeluarkaan untuk modal awal dulu. Salah satu hal termurah dan mudah jelas saja maling anggaran. Mengapa mudah? Suap masih merajalela, baik suap kepada kolega, atasan, bahkan peradilan sekalipun.  Jik hal itu (suap dan kolusi ) sudah bisa diminimalisir, tentu potensi maling berdasi ini makin berkurang. Salah satu faktor maling berjas marak adalah politik mahal. Salah satu solusi yang pas membuat mekanisme politik mahal bisa dipangkas dan disederhanakan.

Politik menjadi segalanya, padahal politik dan lembaganya masih sangat kotor.

Ada isu untuk bisa menjadi salah satu perangkat di tingkat desapun harus kenal “petinggi” parpol kasarnya, ada kendaraan parpol besar yang bisa mengubah hasil ujian yang idenya berbasis komputer, ehh ternyata ditengarai masih diintervensi. Artinya apa? parpol masih menjadi maha kuasa, melebihi apapun, padahal kualitasnya ya begitu-begitu saja. Mana sih parpol yang menghasilkan produk yang handal. Toh selama ini pimpinan-pimpinan yang masih bisa diacungi jempol yang segelintir itu bukan orang parpol yang kemudia mau tidak mau, suka atau tidak, dan dengan lugasnya terpaksa masuk parpol.

Maling ya maling, kalau gak puas tidak maling, kurangilah sedikit.

Anggara KTP-el konon kurang lebih tiga kali lipat harga yang seharusnya dipakai acuan, artinya lebih dari dua kali lipat yang menguap ke mana. Pas pilpres kemarin Pak Prabowo mengatakan BOCOOOR COOOR yang sangat fenomenal, dan itu fakta, soal besarannya relatif. Jika selama ini 30% dicolong, 70% yang dipakai, mbok sadar dikit coba Cuma 5% atau 10% itu sudah bisa untuk menutup modal awal sebenarnya. Rakus dan tamak yang membuat keadaan makin tidak terkendali. Mau pengawasan melekat, saber pungli, atau apapun namanya kalau mental malingnya yang lebih dominan mau apa? Nyatanya masih ada yang memaknai maling ketangkap tangan saja sebagai apes, atau uang sogok sebagai rezeki yang tidak bisa bahkan tidak boleh ditolak.

Agama semata ritual dan upacara, bukan hati dan jiwa yang bersih.

Semua warga Indonesia beragama, bahkan disumpah-janji kala menjabat ini itu, nyatanya mana yang setia? Bahkan menyatakan setia pada Pancasila dan UUD ’45 sebagai syarat sebelum mendaftar, faktanya banyak yang mengingkari dengan lantang? Padahal mereka beragama loh. Main dua kaki seolah menjadi makanan sehari-hari yang sangat lezat, sehingga hasil maling pun akan dengan lahap disantap, tanpa merasa bersalah apalagi dosa. KPK bekerja sampai rambut rontok habis-habisan, kering kerontang demi bersihnya bangsa, kalau akar mental maling tidak dibina, ya jangan harap ada perubahan yang signifikan.

Jayalah Indonesia!

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun