Penyelenggara Pemilu dan Orang Parpol
Entah apa yang ada dalam benak para politikus ini ketika lagi dan lagi idenya luar biasa terlahir. Kali ini mengusulkan, memang sah-sah saja, namanya usaha untuk memberikan porsi kepada kolega mereka duduk di kursi penyelenggara pemilu. Apakah salah? Tidak, tapi etis atau tidak bukan pola pikir dan motivasi mereka.
Gambaran umum di mana orang mau menang sendiri memang menjadi ciri dan watak sebagian besar bangsa ini. saling sandera, cari untung sendiri, dan mengorbankan orang atau pihak lain sebagai hal yang sangat biasa saja, tanpa merasa bersalah dan berdosa. Hidup keagamaan terdepan namun perilaku jahat dianggap biasa saja.
Sikap mendua dan main dua kaki seolah bagian keseharian di antara anak bangsa dari yang paling sederhana dan rendah hingga elitnya. Membolakbalikkan data dan fakta demi keuntungan sendiri dan kelompok, merupakan prestasi yang paling membanggakan, kesuksesan luar biasa besar.
Orang Parpol dan Kejahatan
Tidak bisa dipandang sebelah mata prestasi politikus di negara ini, sayangnya yang berkaitan dengan maling memaling. Korupsi tertinggi ada di parpol dan dewan baik pusat ataupun daerah, main lawan jenis juga ada di dua dunia itu. Belum lagi yang diekspor ke lembaga lain, tidak bisa kita lupakan begitu saja, bagaimana perilaku elit parpol yang membawa aroma busuk ke lembagaa lain. contoh terbaru jelas saja Patrialis Akbar, bagaimana ia membusukan MK makin dalam dengan perilakunya. Dia orang parpol yang sangat lama. Dulu ada Surya Dharma Ali, ada Andi Malarangeng, ada di eksekutif dan MK dua orang itu. Pecinta politik yang terpental, masih abu-abu seperti Abraham Samad, artinya sangat mudah dipengaruhi kepentingan kalau, penyelenggaran pemilu itu orang parpol. Jangan lupa juga bagaimana BPK berpolemik karena juga orang parpol ketuanya. Tersandera keadaan yang tidak baik bagi lembaga dan negara.
Parpol dan Demokrasi
Sepakat dan setuju bahwa demokrasi salah satu pilarnya adalah  parpol, namun apakah parpol di Indonesia sudah demokratis dan modern? Ini tanya yang sangat mendasar dan fundamen, ketika belum mengenakan etika dan perilaku etis dalam berdemokrasi. Lihat saja tingkah polah dan petingkah elit parpol kala pemilu, pilkada, atau juga pilpres. Baju mereka masih parpol banget belum bisa sepenuhnya lepas dari masa lalunya, apalagi masa lalu rakus dan tamak, soal lagi-lagi doit. Demokrasi di Indonesia justru dirusak oleh parpol sendiri, lihat KMP dan KIH di pusat, atau koalisi dan gerombolan yang hilang timbul selama pilkada DKI, siapa pelakunya? Parpol dan dewan.
Orang Parpol Tidak Semua Busuk
Sepakat dan setuju banget, contoh salah satu paling tidak bisa bersikap dengan relatif baik Mahfud MD, politisi PKB yang mengemban ketua MK dengan relatif jauh lebih baik daripada yang murni profesional sekalipun. Artinya, sebenarnya bisa saja, namun apakah bisa bersikap secara baik jika sudah beralih peran. Ini hal yang perlu menjadi perhatian utama, pengawasan yang jauh  lebih berat dan besar tentunya.
Pemain Sekaligus Wasit.
Hal ini sebenarnya lucu dan menggelikan, beda kalau pemain sudah pensiun dan menjadi wasit, untungnya adalah mereka sangat tahu dan mengerti dengan persis trik yang dilakukan pemain ketika mau mengelabui wasit. Nilai lebih tentunya. Syaratnya adalah sudah usai dengan  ikatan langsung pada klup, mengingatkan Molina, wasit paling tegas di Italia era 90-an hinggga awal 2000-an yang merupakan fans Juventus, ia profesional tapi tetap saja ikatan akan klup idola tidak bisa lepas, subyektif memang,  Nah di sinilah repotnya  karena penilaian dan pengamatan orang akan tetap saja terganggu dengan ikatan masa lalu dari yang bersangkutan. Ke depan mungkin bisa karena parpol bukan organisasi terlarang, untuk era ini masih jauh dari hal demikian.
Politikus Lebih Takut Ketum daripada Sumpah Jabatan
Bukan rahasia lagi ketaatan buta anggota parpol itu pada ketum dan parpol bukan pada bangsa dan negara dalam hal ini Pancasila dan sumpah-janji jabatan. Pola ini masih sangat kuat mewarnai dunia perpoltikan bangsa ini, masih jauh demokrasi secara semestinya di negara ini. Bagaimana melihat ideologi saja amsih kacau, apalagi menyelenggaran pemilu secara adil dan bermartabat.
Orang Parpol Cenderung Kekanak-kanakan.
Kita paham kalau kecenderungan parpol dan orangnya masih labil. Bagaimana mereka tidak siap kalah dan hanya siap menang. Ciri anak-anak yang berdebat soal siapa yang paling hebat bukan? Â Hal ini tentu sangat berpengaruh pada kualitas pemilu karena kecurangan sangat mungkin terjadi. Bagaimana mungkin penyelenggara diisi oleh orang yang sarat kepentingan dan pokokemenang begitu? Bisa-bisa setiap peraturan, setiap rapat dan mendiskusikan hal yang mendesak malah debat dan berujung pada pertikaian karena saling berebut demi partaiku dulu.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan orang parpol menjadi penyelenggara pemilu, melihat rekam jejak politikus yang masih labil, kekanakan, dan cengkeraman parpol bagi kadernya yang luar biasa lebih bijak jika dikaji ulang ide membolehkan orang parpol berperan sebagai penyelenggara pemilu. Jika memang demokrasi sudah maju, pembedaan peran bisa dijalani dengan baik dan bijak, bukan hal yang mustahil mereka menjadi penyelenggara yang baik dan modern.
Persoalan bukan pada orang parpol atau bukan tapi bagaimana orang parpol bisa bersikap dengan baik dan melepaskan kepentingan diri dan kelompoknya, ini bukan orang parpol saja sebenarnya yang tergoda. Toh parpol bukan organisasi terlarang juga. Bagaimana mereka bisa bersikap terbuka, lepas kepentingan pribadi dan kelompok, serta keberanian meninggalkan kebiasaan parpol selama ini bertindak.
Jayalah Indonesiaku!
Salam
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H