Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membaca Cara Berpikir Lurus a la Fadli Zon

4 Maret 2017   05:58 Diperbarui: 4 April 2017   16:37 2502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Benarkah Indonesia, lebih perlu Arab Saudi?

Jika demikian, mengapa Arab Saudi yang datang? Logika bodohnya begini, jika kita perlu tangga untuk memperbaiki genteng, kita datang ke tetangga yang memiliki tangga atau sebaliknya? Mudah bukan? Hal yang sangat masuk akal, apalagi soal kepentingan Arab Saudi dengan Indonesia sangat membantu mereka juga. Haji itu bukan kegiatan gratis, tanpa apapun yang membuat pemasukan buat kerajaan tentunya. Perputaran ekonomi yang sangat besar. Hotel, katering, biro perjalanan, transportasi, dan sebagainya. Itu tidak ada yang nol rupiah atau real bukan?

Dua, lihat saja 47 tahun, bukan waktu yang singkat bagi kunjungan seorang kepala negara ke negara sahabat tentunya. Waktu yang panjang, selama ini dipandang sebelah mata, maka tidak perlu dikunjungi, termasuk (tidak perlu sensi, jernih lah membaca),perilaku terhadap TKI Indonesia, seperti tidak ada perhatian, hukuman mati dan denda yang selalu merangkak naik.

Tiga, jika Indonesia lebih perlu, tentu presiden Indonesia yang akan mengupayakan adanya kunjungan prioritas. Tidak perlu raja yang sudah hampir setengah abad tidak datang itu   kembali menyambangi negara sahabatnya.

Apakah perlu melihat mana yang lebih perlu di dalam hubungan bilateral?

Ini sebentuk komunikasi pejabat tinggi negara, yang maaf sangat buruk. Kunjungan kenegaraan itu tidak perlu dimaknai siapa butuh siapa, namun keduanya menjalin persahabatan yang saling menguntungkan dan lebih erat, bukan siapa mendapat siapa. Ada ketersalingan.

Bangsa ini bangsa besar, namun heran mengapa gagap dengan apapun yang bentuknya asing, lihat saja trio pimpinan ini kala bangga berphoto dengan Donald Trump dan para perempuan kelincinya, kini sangjungan untuk negara sahabat dan merendahkan bangsa sendiri. Apakah akan terus menjadi bangsa yang masih suka dianggap rendah oleh asing? Dan mirisnya pejabat tinggi negara saja berlaku seperti itu.

Dalam hemat saya, komentar yang ia lontarkan bukan obyektif apa yang ia pikirkan dan pahami, hanya sebentuk ketidaksukaan atas prestasi pemerintah, apapun bentuknya akan dinegasi oleh pola pikir, perbuatan, dan komentarnya.

Revolusi mental bukan hanya untuk anak sekolah, justru untuk pejabat negara sekelas ini. Bagaimana bisa seenaknya sendiri bersikap mendua begini. Jika pemerintah selalu salah, jika menguntungkan diri dibela mati-matian, termasuk adalah pelaku kriminal, namun sebaliknya jika tidak menguntungkan, buang begitu saja.

Sikap tidak terima kekalahan, sehingga bisa melakukan banyak hal yang sering adalah kelucuan dan kekacauan. Bagaimana tidak, kekritisannya bukan obyektif, berimbang, dan berdasar, namun hanya karena ketidaksukaan semata.

Sekali lagi, esensi demokrasi adalah siap kalah dan siap menang. Politisi handal akan mengritisi dengan data akurat, fakta, dan berani juga memuji, berbeda dengan politikus yang hanya mengatakan keburukan tanpa mau sama sekali memberikan apresiasi positif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun