Dari SBY ke SBY, Mengapa Jokowi?
Presiden Jokowi sedang panen ini. Panen lombok bisa menyenangkan banyak orang pecinta pedas, lha ini pedas yang lain. Panas dan pedas di kuping. Bagaimana tidak saat semua hal ditujukan ke Jokowi. Benar dan boleh karena memang ia pucuk pimpinan negara, tapi apa yang harus demikian? Memang tidak ada anak buah atau pihak yang bisa menangani? Atau memang ada agenda lain?
SBY Satu, atau Pak Beye
Presiden paling rajin, up-date,bahasa abgberkaitan dengan presiden. Entah karena merasa permainannya yang paling disukai diambil, atau karena alasan lain, yang jelas semua-mua Jokowi. Bahkan bertanya ke Jokowi, yang dijawab dengan santai kalau semua tanya saya, saya tanya siapa? Candaan yang pas mantab untuk menjawab Pak Beye, yang maaf sering berlebihan. Coba kalau dijawab dengan bahasa yang sama, bisa berabe dan berkepanjangan. Terakhir soal penyadapan, jelas saja yang bicara pengacara Ahok, di pengadilan, lha napa malah meminta Pak Jokowi yang menjelaskan.
SBY Dua, Si Buni Yani
Entah apa yang ada di benak orang ini ketika merasa sendiri, terpojok, tidak ada yang membela usai babak belur dan sendirian, membuat surat ke Pak Jokowi. Sama dan senada dengan Pak Beye. Bagaimana bisa mengatakan bahwa keadilan tidak ia peroleh di pemerintahan Pak Jokowi segala. Jika mau jernih dan tidak terawa emosi, Buni Yani jelas terjebak dalam pusaran permainan anti Ahok semata. Bagaimana awalnya ia banyak dibela dan merasa aman, namun semua berubah kala pengadilan yang makin hari lebih mempertontonkan kelemahan tuduhan ke Ahok (beda kasus, ini hanya soal posisi Buni Yani). Posisi tidak aman baginya, mau berkelit dengan menyatakan kondisi ini berbahaya bagi presiden. Aneh dan lucu, apalagi ia menyebut merupakan bapak dari anak-anak kecil. Â
Mengapa  Jokowi?
Hal  ini yang cukup aneh mengapa semua menyasar Jokowi. Toh pilpres sudah lama usai, pilpres lagi masih cukup lama juga, karena baru berlangsung setengah masa pemerintahan. Asas demokrasi yang banyak diabaikan adalah kesediaan untuk mengakui kemenangan. Pergantian pimpinan dan kursi beralih adalah alamiah. Jika ada yang menghendaki terus menerus berkuasa dan duduk jelas bukan demokrasi namun tiran yang tidak mau menyerahkan enaknya kuasa. Coba bisa dibayangkan bagaimana sepuluh tahun sudah merasakan nyamannya istana dengan segala keenakannya, kini baru juga tiga tahun sudah gerah dan seperti kehilangan mainan yang paling disukai.
Sikap tidak berani bertanggung jawab atas ulah sendiri. Hal ini tentunya paling jelas dipertontonkan Buni Yani, jika ia tahu memiliki anak kecil, mengapa harus membuat video yang bisa menjadi kontroversi seperti ini. Populer memang enak, namun ingat ada konsekuensinya lho, apalagi dunia maya, bisa cepat berganti. Ingat Norman Kamaru, itu saja tenar tanpa merugikan siapapun bisa berbalik arah dalam waktu singkat, lha apa lagi kali ini. Bagaimana perasaan  anak dan istri Pak Ahok? Apa Pak Buni Yani juga pernah berpikir soal ini? Konsekuensi harus ditanggung. Jangan pas enak dan banyak teman senyam-senyum, begitu ditinggal meminta-minta pihak lain (presiden), dan terkesan memaksa.
Berpikir dulu saat bertindak, bukan berbuat baru berpikir. Hal ini banyak terjadi di dunia maya. Merasa berjarak, jauh, dan tidak berhadapan muka bisa berbuat seenaknya sendiri. Hal ini menjadi masalah jika berlebihan dan ada yang merasa dirugikan. Contoh paling konkret jelas soal pelecehan, penghinaan, dan menebarkan kebencian. Kecenderungan emosional dalam menyikapi keadaan langsung bereaksi dan menuangkan apa yang dipikirkan yang sering menjadi masalah. Apapun keadaannya, apapun kejadiannya timbang dulu masak-masak baru menuliskannya dan bereaksi.
Dunia maya dan dunia nyata sama-sama harus beretika. Bisa menjadi masalah karena abai akan sikap etis. Jika berhadapan saja sudah membuat tersinggung, media internet termasuk media sosial juga memiliki batasan dan etika yang perlu dijaga bersama. Satu batasan yang jelas, jika kita tidak mau diperlakukan demikian, tidak perlu melakukan hal yang sama tentunya.