PAN, Duri dalam Daging yang Perlu Digolkarkan
Golkar di era lalu seolah jadi anak tiri yang merepotkan. Mendukung Pak Beye sebagai presiden namun banyak keputusan dan kebijakan pemerintah yang mereka tentang. Sering posisi dan pilihan Golkar lebih sadis daripada PDI-P yang memang berada di sisi yang berbeda dengan pemerintah. Golkar sering bersama-sama dengan PDI-P dalam kasus-kasus khusus, terutama yang menguntungkan mereka dalam pemilu seperti soal rakyat. Paling keras tentu soal Century. Golkar tidak kenal ampun padahal jelas-jelas menteri dari Golkar cukup banyak, dan kasus itu bisa menyasar presiden.
Kisah berubah dan drastis perubahannya kala presiden dan tampuk kekuasaan berpindah. Pola Golkar yang sama masih mau dipakai, namun ternyata pucuk pimpinannya terbelit dalam banyak kasus dan itu cukup membahayakan. Posisi Golkar kali ini sangat manis, penurut, dan selalu ikut suara pemerintah. Usai menyatakan mengusung Jokowi untuk 2019, mendukung penuh Ahok, dan dinamika di Kura-Kura Hijau cukup aman dan nyaman bagi roda pemerintahan.
Parpol bersikap kritis dan kritik untuk harus, menjadi aneh dan lucu saat mendukung kalau mendapat kursi menteri, namun menggebuk saat ada momen di mana pandangan mereka “berseberangan” dalam isu-isu tertentu. Benar bahwa mendukung itu tidak mesti buta dan selalu mendukung termasuk dalam hal yang salah, jika demikian bisa-bisa menjadi negara otoriter kembali.
Kritis itu tentu demi kepentingan bersama bukan demi kelompok termasuk di sini adalah partai. Selama ini justru yang terjadi adalah main dua kaki. Kanan kiri dapat untung dan melupakan kritisnya untuk kepentingan bangsa dan negara dalam hal ini jelas saja rakyat.
PAN, Duri dalam Daging dan Main Dua Kaki
Salah satu yang sering bersikap, berposisi, dan memilih berbeda adalah PAN. Tidak ada yang salah sebenarnya berbeda dan diakomodasi adalah salah satu esensi demokrasi, namun jika yang dikritisi, pilihan berbeda itu hal yang bertentangan dengan kepentingan umum, lebih kental nuansa politis dari pada kebenaran yang menyangkut kepentingan bersama apa artinya?
Di pemerintahan mendapatkan jatah kursi menteri, namun dalam isu-isu krusial membiarkan presiden berjalan sendiri dan memilih di jalur yang berbeda. Apa maksudnya? Mereka yang menyatakan mendukung pemerintah seharusnya bersikap kritis bukan berarti berseberangan, namun memberikan nasihat, pertimbangan, dan peringatan, namun bukan ancaman dan tekanan dengan model berseberangan dan menggunakan kekuasaan yang di sebelah dengan aneka hak yang kadang lucu itu.
Sistem Pemerintahan yang Mendua
Pilihan sudah ditentukan, sistem presidensial, di mana presiden adalah pemimpin negara dan pemerintahan. Dewan adalah pengawas, dewan sebagai representasi parpol tentunya. Menjadi lucu ketika sistem presidensial, namun parpol seolah menjadi raja diraja, lebih berkuasa dengan kekuatan tekanan kursi di parlemen, dan presiden malah terpojok karena ketidaksetiaan akan komitmen. Lihat saja edisi kemarin, pemerintahan yang didukung mayoritas parpol malah terseok-seok karena banyaknya parpol main dua kaki. Di eksekutif mau di legeslatif juga diembat. Setia dan taat akan komitmen bernegara perlu dikembalikan, sehingga tidak akan ada duri dalam daging model begini.
Model “menekan” seperti yang dialami “pemerintahan” Golkar tentu tidak elok jika juga dialami oleh parpol lain. Lucunya, apa yang lebih kuat adalah saling sandera kasus untuk bisa meredam kelompok, parpol, atau ormas, sehingga kebenaran dan hukum masih bisa dinegosiasikan. Hal ini patut disayangkan sebenarnya.
Penegakan hukum yang lemah. Entah sampai kapan elit sadar dan malu kalau melanggar hukum. Selama ini jika tidak ketahuan seolah melanggar hukum dinilai baik, wajar, dan biasa. Lihat saja bagaimana selama ini para petinggi negeri ini masih bisa berkelit, marah, bahkan menilai maling saja sebagai hal yang baik karena merasa dijadikan korban oleh pihak lain. Maling berdasi dan tertangkap dinilai sebagai apes, uang hasil maling dimaknai sebagai rezeki.
Revolusi mental bukan hanya anak sekolah, namun juga orang parpol. Benar bahwa anggapan di politik tidak ada yang abadi selain kepentingan, namun perlu juga adanya perilaku etis, bisa membedakan mana yang baik dan buruk, berani bertanggung jawab, dan tidak asal berbeda. Perilaku etis tentu akan menjauhkan sikap main dua kaki dan cari untung sendiri.
Sikap ksatria, siap menang dan kalah, dan berani bertanggung jawab akan kompetisi masih lemah. Mudah sekali parpol di bangsa ini bersebrangan dan kemudian bersisian, dan tiba-tibaber musuhan. Hal ini jelas bukan pembelajaran politik yang baik dan sehat. Potong kertas di lipatan, menyalip di tikungan seolah hal yang wajar. Siap menang juga siap kalah. Bagaimana orang yang berjuang eh yang mendapatkan penghargaan malah yang lain. Sikap parpol termasuk di dalamnya para politikusnya jelas. Istilah kutu loncat hanya bagi para kadernya, namun sikap parpol saja sering demikian.
Tidak memiliki idealisme dan ideologi yang pasti dan jelas. Hal ini memperburuk demokrasi yang hanya berpikir soal kursi tanpa mau tahu soal proses dan perjuangan. Hal ini tentu terjadi hampir di semua parpol.
Apakah akan terus hidup dalam alam demokrasi yang model demikian ini? Jika iya, jangan kaget jika selalu saja menjadi negara yang biasa-biasa saja.
Jayalah Indonesia!
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H