Penegakan hukum yang lemah. Entah sampai kapan elit sadar dan malu kalau melanggar hukum. Selama ini jika tidak ketahuan seolah melanggar hukum dinilai baik, wajar, dan biasa. Lihat saja bagaimana selama ini para petinggi negeri ini masih bisa  berkelit, marah, bahkan menilai maling saja sebagai hal yang baik karena merasa dijadikan korban oleh pihak lain. Maling berdasi dan tertangkap dinilai sebagai apes, uang hasil maling dimaknai sebagai rezeki.
Revolusi mental bukan hanya anak sekolah, namun juga orang parpol. Benar bahwa anggapan di politik tidak ada yang abadi selain kepentingan, namun perlu juga adanya perilaku etis, bisa membedakan mana yang baik dan buruk, berani bertanggung jawab, dan tidak asal berbeda. Perilaku etis tentu akan menjauhkan sikap main dua kaki dan cari untung sendiri.
Sikap ksatria, siap menang dan kalah, dan berani bertanggung jawab akan kompetisi masih lemah. Mudah sekali parpol di bangsa ini bersebrangan dan kemudian bersisian, dan tiba-tibaber musuhan.  Hal ini jelas bukan pembelajaran politik yang baik dan sehat. Potong kertas di lipatan, menyalip di tikungan seolah hal yang wajar. Siap menang juga siap kalah. Bagaimana orang yang berjuang eh yang mendapatkan penghargaan malah yang lain. Sikap  parpol termasuk di dalamnya para politikusnya jelas. Istilah kutu loncat hanya bagi para kadernya, namun sikap parpol saja sering demikian.
Tidak memiliki idealisme dan ideologi yang pasti dan jelas. Hal ini memperburuk demokrasi yang hanya berpikir soal kursi tanpa mau tahu soal proses dan perjuangan. Hal ini tentu terjadi hampir di semua parpol.
Apakah akan terus hidup dalam alam demokrasi yang model demikian ini? Jika iya, jangan kaget jika selalu saja menjadi negara yang biasa-biasa saja.
Jayalah Indonesia!
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H