Pak Beye Berhenti Tantrum dan Belajar Menang dari Sang Putera!
Ini edisi kebo nusu gudel jilid 2,salu buat Agus Harimurti Yudhoyono yang dengan gagah mengakui dan menerima kekalahan di pilkada DKI. Telpon ke pemuncak perolehan suara sementara, meskipun versi hitung cepat merupakan sebuah hal yang baru di alam demokrasi Indonesia. Gegap gempita Pak Beye akhir-akhir ini tidak berguna, hentikan dan biarkan Agus bergerak sesuai dengan “naluri” politiknya sendiri. Mentor bukan berarti terus menerus mengambil alih kendali, biarkan berjalan sendiri dan awasi saja. Ingat kala mengajari anak berjalan atau naik sepeda, itulah Pak Beye peran panjenengan kali ini.
Harapan besar bahwa Agus berlaku ksatria terus, tidak berubah karena kepentingan, bisikan sesat, dan entah para spekulan yang cari uang misalnya beperkara ke mana-mana seperti pilpres lalu, tentu menguap momentum ada harapan perubahan siap kalah dalam alam demokrasi akal-akalan kita. Semoga tidak, sudah melangkah baik jangan mundur demi kata orang, data yang palsu bisa menambah malu.
Bangun Demokrat dengan gaya Agus. Pak Beye tentu banyak berharap pada Ibas dulunya, namun nyatanya tidak memberikan gambaran jelas cemerlangnya pemikiran, tindakan, dan sikap politik dari politikus muda (karbitan ini), tentu mau siapa lagi kalau bukan Agus yang benar-benar putera pertama, bukan seperti klaim si adik. Kini, Agus harus mengambil kemudi biduk Demokrat yang hampir karam ini. pilkada Jakarta menambah citra Demokrat makin dalam. lobang menganga selama ini abai dilihat apalagi diselesaikan Pak Beye. Agus, dengan darah muda, mau apalagi kini kalau tidak sepenuhnya di Demokrat.
Kesampingkan model curhat, mengeluh, cari kambing hitam, dan mengulik pemerintah. Jalani dengan visi misi sendiri, bahwa mau dibawa kapal rusak ini, tentunya diperbaiki. Citra buruk itu akan cepat usai asal tidak mengikuti pola Pak Beye. Jadikan partai modern, tidak banyak pecundang yang cuma nitip aman, dan cari hal-hal yang unik dan menarik untuk jualan. Apa yang dipakai Pak Beye sudah basi dan usang. Rakyat sudah hapal.
Demokrat harus memilih jenis kelaminnya dengan tegas. Selama ini main dua kaki terus. Katanya nasionalis, namun bergaul terus dan lengket dengan kelompok radikal atau kelompok radikal namun berbaju toleran. Pisahkan mana lawan mana kawan yang hanya cari aman.
Bisa saja bahwa Demokrat mau dijadikan seperti klan, sah-sah saja sepanjang itu memang mampu, bisa dipertanggungjawabkan, dan tidak menutup pintu orang luar yang lebih mampu dan bisa mengelola dengan baik. Ini hal yang lumrah. Asal bukan karena anak atau cucu tidak bisa pun dipaksakan memimpin. Bukan itu tentunya.
Pilih kader, anggota, pengurus bukan level cari aman, penjilat, atau maunya pimpinan saja, tanpa berani berkata lain. Banyak kader demikian, lihat saja model Suryo, Beni, Syarif, dan lain-lain. Kontribusinya asal mengekor Pak Beye. Kader baik namun berseberangan itu bukan ditendang namun dirangkul dan diajak dialog. Belajarlah dari parpol tua dan besar yang berdarah-darah karena konflik, namun jangan pula diam, tenang, namun diisi penjilat tanpa kontribusi.
Ada anggapan kalau Agus rabeg,rada bego, saya tidak sepakat, justru yang maaf beg* itu yang memaksakan Agus di pilkada DKI kali ini. Jangan langsung ikut lagi pilkada, karena jika iya sama juga dengan minum air laut atau orang main judi dan kalah. Kalap itu tidak rasional dan akhirnya hancur lebur.
Baca peta politik di Indonesia dengan baik. Apa yang tersaji kemarin adalah kapal dipakai namun kalap kosong. Tidak ada kontribusi, bahkan bukan tidak mungkin elit yang ikut mendorongpun tidak memilih. Politik memang soal kepentingan. Coba apa yang didapat oleh PKBB, P3, dan PAN kemarin? Jelas saja mereka menjaga jarak dan selama ini juga adem saja, tidak pernah membela jika ada serangan atau membantu untuk bisa lebih menjual lagi.
Berani mengeluarkan sikap dan pandangan untuk isu-isu terkini dengan lebih bijak dan dewasa. Bisa menyontoh apa yang dipakai Pak Prabowo, tidak banyak ribut-ribut, namun juga tidak diam saja. Tentu hal yang berbeda bukan dengan yang ditampilkan Pak Beye. Pengenalan publik itu penting, asal bukan pencitraan semata.